Slingadigital.com – Mengenal Bregada Prajurit Keraton Yogyakarta. Bregada Prajurit Keraton Yogyakarta adalah salah satu warisan budaya yang kaya akan sejarah dan tradisi. Sebagai bagian integral dari Keraton Yogyakarta, bregada prajurit ini tidak hanya menjadi simbol kekuatan dan ketahanan, tetapi juga representasi dari nilai-nilai luhur dan kebudayaan Jawa yang mendalam.
Dalam artikel ini, kita akan menjelajahi lebih dalam tentang asal-usul, peran, dan makna dari Bregada Prajurit Keraton Yogyakarta, serta bagaimana tradisi ini dipertahankan hingga saat ini. Mari kita mulai perjalanan kita menyusuri jejak sejarah dan kekayaan budaya yang terkandung dalam barisan prajurit yang penuh kharisma ini.
Mengenal Bregada
Bregada (bahasa Jawa: ꦧꦽꦒꦢ, translit. bregada), yang secara lengkap disebut sebagai bregada kaprajuritan, merupakan sebuah seni keprajuritan yang berakar dari zaman Kesultanan Mataram. Seni ini mengadaptasi unsur-unsur militer dengan sentuhan budaya Jawa yang kental. Berbeda dengan bentuk keprajuritan lainnya, bregada umumnya tampil sebagai pasukan yang dikerahkan saat upacara adat atau pesta rakyat, seperti Grebeg atau merti dusun.
Istilah bregada berasal dari kata “brigade,” yang mencerminkan organisasi militer yang terstruktur. Saat ini, terdapat empat kategori bregada yang aktif di Yogyakarta: bregada Keraton Yogyakarta, bregada Keraton Surakarta, bregada Pura Pakualaman, serta bregada rakyat yang dibentuk secara swadaya oleh masyarakat.
Perkembangan bregada erat kaitannya dengan sejarah keprajuritan Kesultanan Mataram. Sejak masa pembentukannya, Kesultanan Mataram telah diperlengkapi dengan alat pertahanan dan keamanan yang tangguh. Salah satu bukti kuat mengenai ketangguhan prajurit Kesultanan Mataram adalah penyerangan ke Batavia pada tahun 1628 dan 1629, yang saat itu sudah diduduki oleh VOC.
Pada masa pemerintahan Pakubuwana III, Kesultanan Mataram mengalami perpecahan akibat Perang Takhta Jawa Ketiga. Perpecahan ini ditandai dengan penandatanganan Perjanjian Giyanti oleh Pakubuwana III dan Pangeran Mangkubumi pada 13 Februari 1755, yang menghasilkan dua kerajaan baru, yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Ngayogyakarta.
Bregada tidak hanya berfungsi sebagai pasukan militer simbolis, tetapi juga sebagai representasi nilai-nilai luhur dan budaya Jawa. Mereka memainkan peran penting dalam berbagai upacara adat dan ritual masyarakat, seperti upacara Grebeg yang merupakan perayaan besar di Yogyakarta.
Melalui penampilan mereka yang megah dan penuh makna, bregada mengingatkan masyarakat akan pentingnya menjaga dan melestarikan warisan budaya. Mereka juga berperan sebagai sarana edukasi bagi generasi muda untuk mengenal dan memahami sejarah serta tradisi leluhur.
Selain bregada yang berasal dari keraton, masyarakat juga membentuk bregada rakyat secara swadaya. Bregada rakyat ini menunjukkan kecintaan dan kepedulian masyarakat terhadap pelestarian budaya Jawa. Mereka sering tampil dalam berbagai acara lokal dan nasional, menunjukkan keberagaman dan kekayaan budaya Indonesia.
Bregada Prajurit Keraton Yogyakarta
Keraton Yogyakarta memiliki sepuluh kelompok pasukan yang disebut sebagai bregada, dengan total sekitar 600 prajurit. Setiap bregada memiliki jumlah anggota yang berbeda-beda. Misalnya, Bregada Nyutra hanya terdiri dari 64 prajurit.
Pimpinan tertinggi dari keseluruhan bregada adalah seorang Manggalayudha, juga dikenal sebagai Kommandhan atau Kumendham. Sebutan lengkapnya adalah Kommandhan Wadana Hageng Prajurit. Manggalayudha bertugas mengawasi dan bertanggung jawab penuh atas seluruh pasukan, dengan bantuan seorang Pandhega (Kapten Parentah), yang sebutan lengkapnya adalah Bupati Enem Wadana Prajurit. Pandhega bertugas menyiapkan pasukan.
Setiap bregada dipimpin oleh perwira berpangkat Kapten, kecuali Bregada Bugis dan Surakarsa yang dipimpin oleh seorang Wedana. Pandhega didampingi oleh perwira yang disebut Panji (Lurah), yang bertugas mengatur dan memerintah seluruh prajurit dalam bregada. Setiap Panji didampingi oleh seorang Wakil Panji. Selain itu, regu-regu dalam setiap bregada dipimpin oleh seorang bintara berpangkat sersan.
Keseluruhan perwira dalam semua bregada dipimpin oleh seorang Pandhega, kecuali Bregada Wirabraja dan Bregada Mantrijero yang langsung berada di bawah komando Kommandhan.
Prajurit Keraton Yogyakarta dibagi ke dalam tiga kelompok: Prajurit yang dimiliki oleh Kepatihan, yaitu Bregada Bugis; prajurit yang dimiliki oleh Kadipaten Anom (putra mahkota), yaitu Bregada Surakarsa; dan sisanya dimiliki oleh keraton.
1. Bregada Bugis
Bregada Bugis awalnya berasal dari Bugis, Sulawesi. Namun, prajurit yang tergabung dalam bregada ini kini tidak lagi terdiri dari orang-orang Bugis. Dalam upacara Garebeg, mereka bertugas sebagai pengawal gunungan yang dibawa menuju Kepatihan.
Panji-panji atau bendera prajurit Bugis disebut Wulan-dadari, berbentuk persegi panjang dengan warna dasar hitam dan lingkaran kuning emas di tengahnya. “Wulan” berarti bulan, sementara “dadari” berarti mekar atau muncul. Secara filosofis, panji ini menggambarkan harapan bahwa pasukan ini selalu memberikan penerangan dalam kegelapan, seperti bulan yang muncul dan cahayanya menggantikan matahari di malam hari.
Senjata yang digunakan oleh seluruh Bregada Prajurit Bugis adalah tombak (waos), dengan tombak pusaka bernama Kanjeng Kiai Trisula yang memiliki ujung berbentuk trisula. Saat berjalan, Bregada Prajurit Bugis diiringi oleh Gendhing Sandung Liwung.
2. Bregada Surakarsa
Nama Bregada Surakarsa berasal dari kata “sura” yang berarti berani, dan “karsa” yang berarti kehendak. Secara filosofis, Surakarsa melambangkan prajurit pemberani yang bertujuan menjaga keselamatan Adipati Anom (Putra Mahkota). Dalam upacara Garebeg, Bregada Surakarsa bertugas mengawal gunungan yang dibawa ke Masjid Gedhe.
Panji prajurit Surakarsa adalah Pareanom, berbentuk persegi panjang dengan warna dasar hijau dan lingkaran kuning di tengahnya. “Pareanom” berasal dari kata “pare” (sejenis tanaman berbuah yang merambat) dan “anom” yang berarti muda. Panji ini melambangkan semangat muda dan enerjik yang selalu ada dalam pasukan Surakarsa.
Senjata yang digunakan oleh seluruh Bregada Prajurit Surakarsa adalah tombak (waos), dengan tombak pusaka bernama Kanjeng Kiai Nenggala yang memiliki ujung berbentuk Banyak Angrem. Saat berjalan, Bregada Prajurit Surakarsa diiringi oleh Gendhing Plangkenan.
3. Bregada Wirabraja
Nama Bregada Wirabraja berasal dari kata “wira” yang berarti berani dan “braja” yang berarti tajam. Secara filosofis, Wirabraja menggambarkan prajurit yang sangat berani dan tajam panca inderanya, selalu peka terhadap keadaan, pantang menyerah dalam membela kebenaran, dan pantang mundur sebelum musuh dikalahkan.
Panji atau bendera prajurit Wirabraja adalah Gula-klapa. Bendera ini berbentuk persegi panjang dengan warna dasar putih, dihiasi dengan chentung berwarna merah di setiap sudut, menyerupai ujung cabai merah (kuku Bima). Di tengahnya terdapat segi empat berwarna merah dan segi delapan berwarna putih di dalamnya. Nama Gula-klapa berasal dari “gula” yang merujuk pada gula Jawa yang berwarna merah, dan “kelapa” yang berwarna putih. Panji ini melambangkan keberanian pasukan Wirabraja dalam membela kesucian dan kebenaran.
Senjata yang digunakan oleh anggota Bregada Prajurit Wirabraja adalah tombak (waos) dan senapan. Tombak pusakanya bernama Kanjeng Kiai Slamet dan Kanjeng Kiai Santri dengan ujung (dapur) yang dinamakan Manggaran, Catursara, atau Crengkeng. Saat berjalan cepat (mars), Bregada Prajurit Wirabraja diiringi oleh Gendhing Dhayungan. Jika berjalan lambat (lampah macak), mereka diiringi oleh Gendhing Reta Dhedhali.
4. Bregada Dhaeng
Nama Bregada Dhaeng berasal dari sebutan gelar bangsawan di Makassar. Pada awalnya, prajurit Dhaeng memang berasal dari Makassar, tetapi kini prajurit yang tergabung dalam bregada ini tidak lagi terdiri dari orang-orang Makassar.
Panji prajurit Dhaeng adalah Bahningsari. Bendera ini berbentuk persegi panjang dengan warna dasar putih, di tengahnya terdapat bintang segi delapan berwarna merah. “Bahni” berarti api, dan “sari” berarti indah. Panji ini melambangkan bahwa pasukan Dhaeng adalah prajurit yang tidak pernah menyerah karena keberaniannya, mirip dengan semangat api yang tidak pernah padam.
Senjata yang digunakan oleh anggota Bregada Prajurit Dhaeng adalah tombak (waos) dan senapan. Tombak pusakanya bernama Kanjeng Kiai Jatimulya dengan ujung (dapur) yang dinamakan Dhoyok. Saat berjalan cepat (mars), Bregada Prajurit Dhaeng diiringi oleh Gendhing Ondhal-Andhil. Jika berjalan lambat (lampah macak), mereka diiringi oleh Gendhing Kenaba.
5. Bregada Patangpuluh
Asal usul nama Bregada Patangpuluh masih kabur hingga kini, namun yang jelas nama tersebut tidak ada hubungannya dengan jumlah anggota bregada.
Panji prajurit Patangpuluh adalah Cakragora. Bendera ini berbentuk persegi panjang dengan warna dasar hitam dan bintang segi enam berwarna merah di tengahnya. “Cakra” adalah senjata berbentuk roda bergerigi, dan “gora” berarti dahsyat atau menakutkan. Panji ini melambangkan kekuatan luar biasa dari pasukan Patangpuluh, yang mampu mengalahkan segala jenis musuh.
Senjata yang digunakan oleh anggota Bregada Prajurit Patangpuluh adalah tombak (waos) dan senapan. Tombak pusakanya bernama Kanjeng Kiai Trisula dengan ujung (dapur) yang dinamakan Daramanggala atau Trisula Carangsoka. Saat berjalan cepat (mars), Bregada Prajurit Patangpuluh diiringi oleh Gendhing Bulu-Bulu. Jika berjalan lambat (lampah macak), mereka diiringi oleh Gendhing Mars Gendera.
6. Bregada Jagakarya
Nama Bregada Jagakarya berasal dari kata “jaga” yang berarti menjaga, dan “karya” yang berarti tugas atau pekerjaan. Secara filosofis, Jagakarya menggambarkan prajurit yang bertugas menjaga dan mengamankan jalannya pelaksanaan pemerintahan dalam kerajaan.
Panji prajurit Jagakarya adalah Papasan. Bendera ini berbentuk persegi panjang dengan warna dasar merah dan lingkaran hijau di tengahnya. “Papasan” mungkin berasal dari nama tumbuhan atau burung, tetapi ada juga pendapat bahwa “Papasan” berasal dari kata dasar “papas” menjadi “ampas,” yang berarti menghancurkan. Jika demikian, Papasan melambangkan pasukan pemberani yang dapat menghancurkan musuh dengan teguh.
Senjata yang digunakan oleh anggota Bregada Prajurit Jagakarya adalah tombak (waos) dan senapan. Tombak pusakanya bernama Kanjeng Kiai Trisula dengan ujung (dapur) yang juga dinamakan Trisula. Saat berjalan cepat (mars), Bregada Prajurit Jagakarya diiringi oleh Gendhing Tameng Madura. Jika berjalan lambat (lampah macak), mereka diiringi oleh Gendhing Slahgendir.
Penutup
Sebagai bagian integral dari sejarah dan budaya Yogyakarta, Bregada Prajurit Keraton Yogyakarta bukan hanya sekadar simbol militer masa lalu, tetapi juga representasi identitas, kehormatan, dan semangat juang masyarakat Yogyakarta. Keberadaan mereka dalam berbagai upacara dan acara kebudayaan mengingatkan kita akan pentingnya menjaga warisan leluhur dan menghormati tradisi yang telah ada sejak zaman kerajaan.
Dengan mengenal lebih dekat Bregada Prajurit ini, kita turut melestarikan nilai-nilai kebudayaan yang kaya dan memperkokoh jati diri bangsa. Mari terus mengapresiasi dan mendukung pelestarian warisan budaya ini untuk generasi mendatang.