Slingadigital.com – Proses Terbentuknya Pamor Secara Lengkap. Pamor adalah pola unik dan artistik yang muncul pada bilah keris dan senjata tradisional lainnya, mencerminkan keindahan serta nilai filosofis yang mendalam. Proses terbentuknya pamor bukanlah sekadar hasil dari teknik tempa, tetapi merupakan perpaduan harmonis antara seni, keahlian, dan warisan budaya yang diwariskan turun-temurun.
Dalam artikel ini, kita akan menjelajahi lebih dalam tentang proses terbentuknya pamor, mulai dari pemilihan bahan, teknik pembuatan, hingga makna simbolis yang terkandung di dalamnya. Dengan memahami proses ini, kita dapat menghargai keindahan dan kekayaan budaya yang terwujud dalam setiap pola pamor yang memikat.
Proses Terbentuknya Pamor
Keris yang bagus sesuai fungsinya sebagai senjata tidak mudah patah atau bengkok. Ini adalah hasil dari evolusi dan kemajuan progresif yang dilakukan oleh para Empu dan pandai besi. Menyadari kelemahan masing-masing logam, mereka melakukan percobaan dengan mencampur berbagai jenis logam untuk menghasilkan senjata yang unggul dari sisi material.
Baja yang keras dan tajam tetapi getas (mudah patah) diapit oleh logam lain yang lentur seperti besi lunak dan nikel untuk menutupi kelemahan baja tersebut. Karena susunan berlapis ini, keris memiliki keistimewaan tambahan yaitu lapisan besi lunak dan nikel yang menimbulkan konfigurasi indah yang disebut “pamor.” Kata “pamor” berasal dari bahasa Jawa “amor” atau “diwor” yang artinya dicampur atau disatukan (Kutipan: A. Ardiasto).
Pada awalnya, motif pamor tidak beraturan, tidak kontras, dan muncul tanpa disengaja. Garis-garis tersebut adalah hasil dari proses over-reaktif antara dua lapisan bahan tidak murni yang terkena bara api dan pukulan. Lapisan ini memiliki citra grafis yang disebut “pamor sanak (samar)” yang kemudian berkembang menjadi seni tersendiri.
Dari kondisi ini muncul ide dan metode untuk mengatur alur lapisan grafis (pamor sanak) dengan menambahkan nikel atau logam lain. Beberapa bahan besi yang digunakan seringkali setelah diwarangi menghasilkan nuansa samar-samar keputihan yang disebut pamor “ngapuk” (kapuk, kapas).
Catatan etnografis menunjukkan bahwa empu keris atau pandai besi memiliki kedudukan penting dalam masyarakat karena dianggap memiliki kesaktian, dan tidak semua orang bisa menjadi empu. Dalam kitab Slokantara disebutkan bahwa pandai besi termasuk dalam golongan masyarakat “candala”. Tempat pembuatan benda-benda logam pada abad ke-9 disebut “gusalyan” dari istilah “paryyen” (Jawa kuno) yang kemudian berubah menjadi “paron.”
Tempat-tempat ini dianggap sakral karena memiliki aspek simbolik-religius di mana “paron” (landasan tempa) adalah lambang bumi dan “palu” adalah lambang bahan besi (meteor) yang jatuh, mewakili persatuan “bapa akasa” dan “ibu bumi”. Ini menunjukkan bahwa selain fungsi teknomik dan sosioteknik, keris juga dianggap sebagai benda sakral yang dihasilkan dari pemahaman religius tentang “manunggaling kawulo gusti” (kutipan dari makalah Prof. Dr. Timbul Haryono).
Penggunaan logam meteorit dilakukan secara sengaja, terutama dalam proses spiritual yang mengiringi penciptaan para Empu. Filosofi ini, yang didasarkan pada kepercayaan manusia (maguru alam pada masyarakat agraris), menyatukan material logam meteorit dalam keris sebagai simbol kekuatan yang dahsyat. Kini, kepercayaan terhadap kekuatan dalam keris ini memperkuat eksistensinya dengan sebutan seperti tuah, khasiat, yoni, daya magis, dan lain-lain.
Hasil konfigurasi grafis dari lapisan pamor (meteorit) memiliki nilai estetika tersendiri, terutama setelah proses warangan. Warangan adalah senyawa kimia arsenik As2S3 yang dibawa dari Cina. Warangan sering digunakan sebagai obat atau bahan ramuan untuk menyembuhkan luka dan mengurangi rasa sakit akibat asam lambung. Warangan yang dicampur dengan asam sitrat bereaksi sebagai senyawa kimiawi anti korosi pada besi. Senjata tua dari Asia seperti Pokiam (pedang China) juga dibasuh dengan warangan agar tidak berkarat.
Proses mewarangi keris awalnya adalah teknik untuk anti karat, yang kemudian berkembang menjadi media estetika dan tradisi atau upacara. Keris mengalami pergeseran nilai dari senjata teknomik-sosioteknik-ideologis menjadi benda sakral yang dianggap sebagai jimat.
Kini, eksistensi keris dianggap sebagai benda budaya. UNESCO telah mengakui keris sebagai warisan budaya dunia karya manusia. Untuk menampakkan alur pamor, keris direndam dalam cairan warangan (campuran arsenik As2S3 dengan asam dari jeruk nipis C3H4OH). Cairan ini melindungi besi dari korosi dan mengubah warna besi menjadi kehitaman, membuat alur pamor lebih tampak dengan kontras putih keabu-abuan.
Para pecinta keris dan tosan aji kini dapat menikmati keindahan seni pamor yang ada pada keris-keris. Beratus bahkan mungkin ribuan pola/motif pamor telah diciptakan oleh para empu, baik secara sengaja (Jawa: Jwalono, Rekan) atau tidak disengaja (Jawa: anukarto wirasat, tiban). Namun, beberapa motif seperti pamor “jarot asem” dan “guntur gunung” hanya ada dalam sketsa pada buku-buku tua, meragukan apakah pamor tersebut benar-benar pernah ada.
Makna Pamor Keris Jawa
Tiap bagian keris memiliki nama, fungsi, dan filosofi. Pamor, misalnya, berakar kata amor atau wor berarti campur atau pencampuran beberapa unsur logam pada bilah keris. “Jadi pamor adalah lukisan pada tosan aji,” tulis Prasida Wibawa pada Pesona Tosan Aji.
Tiap keris memiliki pamor dengan ragam bentuk dan makna berbeda-beda. Kepingin tahu apa saja? Simak ulasan berikut:
1. Ron Gendhuru
Ron adalah kata dalam bahasa Jawa yang berarti daun, sedangkan gendhuru merujuk pada tanaman bernama Sarai atau Caryota Mitis. Pamor Ron Gendhuru memiliki bentuk yang menyerupai daun sarai, memberikan kesan alami dan simbolis yang mendalam. Menurut Ilyas Werdisastro dalam bukunya “Keris Kalimasada dan Walisongo,” pamor ini dipercaya memberikan pengaruh positif terhadap jiwa kepemimpinan dan kewibawaan pemiliknya.
Lebih lanjut, tanaman gendhuru dimaknai sebagai tanaman semacam asam (wuni) dengan banyak buah. Hal ini melambangkan sifat welas asih pemiliknya terhadap anak buah atau orang-orang di sekitarnya. Dengan demikian, pamor Ron Gendhuru tidak hanya memberikan kekuatan simbolis, tetapi juga mengingatkan pemiliknya untuk menjadi pemimpin yang bijaksana dan penuh kasih.
2. Wengkon
Wengkon berasal dari kata “wengku” yang berarti bingkai. Seperti halnya bingkai yang melindungi sesuatu di dalamnya dari debu, kotoran, dan benturan benda keras, pamor Wengkon juga memiliki makna perlindungan. Menurut Mas Djomul dalam bukunya “Keris Benda Budaya,” pamor ini bersifat melindungi pemiliknya dari serangan jahat dan hal-hal negatif.
Pamor Wengkon dipercayai memiliki tuah sebagai penangkal energi negatif. Ini menjadikan pamor ini sangat dihargai oleh mereka yang percaya pada kekuatan spiritual keris, karena diyakini mampu memberikan perlindungan dan ketenangan batin bagi pemiliknya.
3. Walang Sinunduk
Walang adalah hewan yang dikenal dengan bau menyengatnya, sedangkan sinunduk berarti menusuk. Pamor Walang Sinunduk melambangkan kekuatan yang ampuh untuk menyerang musuh. Dengan simbolisme ini, pamor tersebut sering kali dikaitkan dengan kemampuan untuk melindungi diri sekaligus menyerang lawan dengan efektif.
Tuah dari pamor Walang Sinunduk dianggap memberikan pemiliknya kekuatan dan keberanian dalam menghadapi ancaman. Ini membuatnya sangat cocok bagi mereka yang mencari perlindungan aktif dan kemampuan untuk mempertahankan diri dalam situasi berbahaya.
4. Wos Wutah
Wos Wutah berarti beras yang meluap atau tumpah dari tempatnya. Dalam pandangan masyarakat Jawa, kondisi ini dianggap sebagai pertanda rejeki yang melimpah. Pamor Wos Wutah pada keris dipercaya membawa tuah kemakmuran, berkah, dan rejeki yang melimpah kepada pemakainya.
Pemilik keris dengan pamor Wos Wutah diharapkan akan selalu mendapatkan keberuntungan dan kemakmuran dalam hidupnya. Pamor ini menjadi simbol harapan dan doa agar pemiliknya selalu berada dalam keadaan berkelimpahan, baik secara materi maupun spiritual.
Penutup
Sebagai kesimpulan, proses terbentuknya pamor pada keris bukan hanya soal teknik dan keahlian, melainkan juga mengandung nilai-nilai budaya dan spiritual yang mendalam. Dari pemilihan bahan baku, teknik tempa, hingga proses akhir yang melibatkan berbagai ritual, setiap langkah mencerminkan warisan leluhur yang kaya dan penuh makna. Memahami dan menghargai proses ini membantu kita tidak hanya mengapresiasi keindahan fisik pamor, tetapi juga makna filosofis yang terkandung di dalamnya.
Dengan demikian, keris dengan pamor yang indah tidak hanya menjadi artefak berharga, tetapi juga simbol dari identitas dan kearifan lokal yang harus terus dijaga dan dilestarikan.