Sejarah Pusaka Tombak Kiai Upas

Sejarah Pusaka Tombak Kiai Upas : Lengkap

Posted on

Slingadigital.com – Sejarah Pusaka Tombak Kiai Upas : Lengkap. Tombak Kiai Upas adalah salah satu pusaka legendaris yang memiliki tempat istimewa dalam sejarah Nusantara. Sebagai senjata yang tidak hanya dipandang dari sisi fungsionalnya, Tombak Kiai Upas mengandung nilai-nilai spiritual dan simbolis yang mendalam, mencerminkan kekuatan, perlindungan, dan kekuasaan. Sejarah pusaka ini sarat dengan kisah-kisah mistis dan peran pentingnya dalam berbagai peristiwa bersejarah, membuatnya dihormati dan dijaga dengan penuh kehati-hatian oleh para pemegang amanah.

Artikel ini akan mengulas lebih jauh tentang Sejarah Pusaka Tombak Kiai Upas serta asal-usul, peran, dan makna simbolis dari Tombak Kiai Upas dalam konteks budaya dan sejarah Nusantara.

Pusaka Tombak Kiai Upas

Tombak Kyai Upas adalah salah satu pusaka keramat yang diwariskan secara turun-temurun di Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur. Pusaka ini bukan sekadar senjata tradisional, tetapi juga dipercaya memiliki kekuatan magis yang mampu melindungi wilayah dan pemiliknya. Sebagai pusaka piyandel, Tombak Kyai Upas telah menjadi bagian integral dari warisan budaya dan spiritual Bupati Tulungagung hingga saat ini.

Keberadaan Tombak Kyai Upas dalam sejarah Kabupaten Tulungagung tidak lepas dari kisah heroik pada masa penjajahan Belanda. Diyakini, tombak ini memiliki kekuatan gaib yang mampu menolak serangan musuh, membuat pasukan Belanda tidak dapat menembus wilayah Tulungagung. Kepercayaan terhadap daya magis tombak ini menjadi simbol perlawanan dan pertahanan, mencerminkan keyakinan masyarakat terhadap kekuatan spiritual yang terkandung dalam pusaka tersebut.

Selain berperan dalam mempertahankan wilayah dari penjajah, Tombak Kyai Upas juga terkait dengan peristiwa penting di Kerajaan Mataram. Dikisahkan bahwa tombak ini pernah membawa bencana besar di Mataram, sehingga oleh Sultan Hamengku Buwono II, tombak ini diserahkan kepada salah satu putranya yang menjadi Adipati di Ngrawa. Peristiwa ini menunjukkan betapa besar pengaruh dan kekuatan yang dipercayai terkandung dalam tombak tersebut, sehingga memerlukan penanganan khusus untuk menjaga keseimbangan spiritual kerajaan.

Asal-usul Tombak Kyai Upas sendiri berakar dari Kerajaan Mataram, di mana pusaka ini dibawa oleh Raden Mas Tumenggung Pringgodiningrat. Beliau adalah putra dari Pangeran Noyokusumo di Pekalongan, yang kemudian menjadi menantu Sultan Hamengku Buwono II. Ketika Raden Mas Tumenggung Pringgodiningrat diangkat menjadi Bupati Ngrawa—wilayah yang kini dikenal sebagai Tulungagung—Tombak Kyai Upas menjadi pusaka yang menyertainya, melambangkan otoritas dan perlindungan yang menyelubungi kepemimpinannya.

Baca Juga:  7 Keris Sakti Berasal dari Pulau Jawa

Sejak saat itu, Tombak Kyai Upas terus diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya di Tulungagung, tetap terjaga sebagai simbol kekuatan, perlindungan, dan warisan budaya yang tak ternilai harganya. Kisah tentang tombak ini tidak hanya memperkaya sejarah lokal tetapi juga meneguhkan kepercayaan masyarakat terhadap pusaka sebagai penjaga keselamatan dan keberlangsungan daerah.

Sejarah Pusaka Tombak Kiai Upas

Kiai Upas adalah sebuah pusaka sakral berbentuk tombak dengan bilah sepanjang sekitar 35 cm, ditopang oleh gagang kayu (landeyan) sepanjang 4 meter. Pada bagian bawah bilahnya terdapat ukiran huruf Arab yang melafalkan “Allah” dan “Muhammad,” yang menambah keagungan dan kekuatan spiritual dari pusaka ini. Tombak Kanjeng Kiai Upas adalah pusaka milik masyarakat Kabupaten Tulungagung yang dipercaya memiliki kekuatan magis. Dikisahkan, pusaka ini mampu menolak musuh selama penjajahan Belanda, sehingga pasukan Belanda tidak dapat memasuki wilayah Tulungagung. Hingga kini, tombak ini tetap menjadi pusaka piyandel Bupati Tulungagung, diwariskan secara turun-temurun sebagai simbol perlindungan dan kekuatan spiritual.

Legenda Kiai Upas berakar dari masa akhir pemerintahan Majapahit. Kala itu, banyak punggawa kerajaan yang meninggalkan pusat pemerintahan, termasuk Ki Wonoboyo yang membuka hutan di wilayah Mataram, dekat Rawa Pening, Ambarawa. Dalam satu acara bersih desa, Ki Wonoboyo meminjamkan pisaunya kepada seorang juru masak perempuan dengan pesan agar pisau tersebut tidak diletakkan di pangkuannya. Namun, juru masak itu lupa akan pesan tersebut, dan ketika pisau diletakkan di pangkuannya, pisau itu hilang dan masuk ke perutnya, menyebabkan perempuan itu hamil.

Peristiwa ini membuat Ki Wonoboyo merasa sedih dan malu. Untuk meredam perasaan tersebut, ia melakukan semedi di puncak Gunung Merapi. Ketika waktu kelahiran tiba, yang lahir bukan bayi manusia, melainkan seekor ular yang diberi nama Baru Klinthing. Ular ini tumbuh besar dan suatu hari berusaha mencari ayahnya, Ki Wonoboyo, di puncak Merapi. Namun, karena kehilangan lidi yang menjadi tanda dari Ki Wonoboyo, Baru Klinthing tidak diakui sebagai putranya. Namun, karena desakannya, Ki Wonoboyo akhirnya mengakui Baru Klinthing sebagai anaknya dengan syarat ia harus bisa melingkari puncak Merapi. Baru Klinthing hampir berhasil, tetapi Ki Wonoboyo memutuskan lidahnya, yang kemudian berubah menjadi pusaka tombak.

Baru Klinthing kemudian melarikan diri dan terjun ke Laut Selatan, dan tubuhnya berubah menjadi sebatang kayu yang digunakan oleh Ki Wonoboyo sebagai gagang tombak, yang kemudian diberi nama Tombak Kanjeng Kiai Upas. Sepeninggal Ki Wonoboyo, pusaka ini diwariskan kepada putranya, Ki Ajar Mangir, yang merasa kuat dengan tombak tersebut dan menolak tunduk kepada Mataram. Raja Mataram kemudian mengutus Putri Pembayun, putri sulungnya, untuk memikat Ki Ajar Mangir. Setelah berhasil menikah dengannya, Putri Pembayun membawa Ki Ajar Mangir menghadap Raja Mataram. Namun, karena aturan istana, tombak tersebut tidak boleh dibawa masuk. Saat Ki Ajar Mangir bersujud di hadapan raja, sang raja membenturkan kepalanya ke dhampar (singgasana) batu, mengakhiri hidupnya. Namun, keberadaan pusaka tersebut di Mataram membawa bencana, sehingga tombak tersebut diserahkan kepada putra Raja yang menjadi Adipati Ngrawa (Tulungagung).

Baca Juga:  Kalender Kerejekian Kepada Mitologi Jawa

Seiring berjalannya waktu, Tombak Kanjeng Kiai Upas terus dilestarikan oleh Bupati Tulungagung, dengan upacara adat Jamasan Pusaka yang diadakan setiap tahun, pada hari Jumat setelah tanggal 10 bulan Sura. Upacara ini tidak hanya bertujuan menjaga kekuatan magis pusaka, tetapi juga sebagai cara untuk merawat fisik tombak agar tetap awet dan tidak berkarat. Pusaka ini dipelihara dengan cermat di Gedhong Pusaka, Dalem Kanjengan, Tulungagung, dan dikelola oleh keturunan keluarga Raden Mas Pringgo Kusumo. Jamasan dilakukan dengan penuh khidmat, menggunakan warangan (racun) untuk menjaga keawetan bilahnya dan menambah aura magisnya, sehingga pusaka ini tetap menjadi pelindung masyarakat Tulungagung dari segala gangguan dan bencana.

Ritual Upacara Siraman Pusaka Tombak Kiai Upas

Ritual upacara siraman Pusaka Tombak Kiai Upas adalah salah satu tradisi yang penuh makna spiritual dan budaya di Kabupaten Tulungagung. Setiap tahun, ritual ini dilakukan dengan khidmat pada hari Jumat antara tanggal 11 hingga 20 bulan Suro (penanggalan Jawa). Siraman ini bertujuan untuk membersihkan pusaka dari kotoran fisik dan spiritual, serta menjaga kekuatan magisnya agar tetap berfungsi melindungi masyarakat.

Untuk melaksanakan upacara siraman, berbagai sajen disiapkan dengan penuh perhatian dan sesuai dengan tradisi yang telah diwariskan turun-temurun. Sajen-sajen ini terdiri dari beberapa elemen penting, masing-masing memiliki makna simbolis tersendiri:

  1. Panggang Ayam Beragam Jenis:
    Terdapat tujuh jenis ayam yang dipersiapkan, yaitu ayam tulak, ayam walik, ayam putih mulus, ayam hitam mulus, ayam lurik sekul, dan lainnya. Ayam-ayam ini dipanggang sebagai persembahan yang melambangkan keseimbangan, keberanian, dan keberuntungan.
  2. Polo Kependem:
    Berbagai jenis umbi-umbian, seperti kacang brol, ubi-ubian, kentang hitam, kentang putih, ketela rambat, dan ketela pohon, turut disertakan. Polo kependem ini mencerminkan kesuburan tanah dan harapan akan kehidupan yang berkelanjutan.
  3. Jenang Sengkolo dan Bubur Suran:
    Jenang sengkolo dan bubur suran, lengkap dengan lauk pauknya, disiapkan sebagai simbol tolak bala, perlindungan, dan keselamatan bagi masyarakat.
  4. Pisang Raja Ayu:
    Pisang raja ayu melambangkan kesempurnaan dan kesucian dalam ritual ini, serta harapan akan kehidupan yang penuh berkah.
  5. Air dari Tujuh Sumber dan Air Laut:
    Air yang digunakan dalam siraman berasal dari tujuh sumber mata air suci dan air laut. Air ini dianggap memiliki kekuatan untuk menyucikan dan menghilangkan segala kotoran, baik yang bersifat jasmani maupun rohani.
  6. Tebu dan Janur:
    Tebu dan janur digunakan sebagai simbol kesucian dan kesegaran, serta harapan akan kehidupan yang manis dan penuh kesejahteraan.
  7. Beragam Ikan Sungai:
    Ikan-ikan dari berbagai jenis yang berasal dari sungai turut disertakan dalam sajen, melambangkan keseimbangan alam dan harmoni dengan lingkungan sekitar.
  8. Macam-Macam Jajanan Pasar:
    Aneka jajanan pasar disajikan sebagai simbol kebersamaan dan keberagaman budaya yang dipertahankan oleh masyarakat setempat.
  9. Daging Lembu 27 Macam:
    Sebanyak 27 potong daging lembu disiapkan, melambangkan kekuatan, ketahanan, dan perlindungan bagi masyarakat yang melaksanakan ritual ini.
Baca Juga:  Adakah Jin baik? Apa Perbedaannya dengan Jin Jahat?

Ritual siraman ini dilakukan dengan sangat teratur dan penuh kehati-hatian. Setiap elemen sajen memiliki peran dan makna khusus dalam menjaga kekuatan serta kesakralan Pusaka Tombak Kiai Upas. Dengan melaksanakan ritual ini, masyarakat Tulungagung berharap agar pusaka tersebut terus memberikan perlindungan dan berkah bagi mereka.

Penutup

Sebagai salah satu pusaka yang sarat dengan nilai sejarah dan spiritualitas, Sejarah Pusaka Tombak Kiai Upas tidak hanya mencerminkan keagungan budaya Nusantara, tetapi juga menjadi simbol kebesaran dan kekuatan yang diwariskan dari generasi ke generasi. Dalam setiap helai sejarah yang melekat pada tombak ini, terkandung pesan penting tentang perjuangan, pengorbanan, dan kepercayaan yang mendalam terhadap nilai-nilai leluhur.

Mengenal dan memahami pusaka ini bukan sekadar mempelajari masa lalu, tetapi juga menghubungkan diri dengan akar budaya yang menjadi pondasi identitas bangsa.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *