Slingadigital.com – Apa itu Keris Tindih? Simak Pembahasannya. Dalam khazanah budaya Indonesia, apa itu Keris Tindih menjadi pertanyaan yang menarik untuk dijawab. Keris Tindih adalah salah satu jenis keris yang memiliki ciri khas dan keunikan tersendiri. Dikenal dengan bentuknya yang lebih ramping dan tajam, keris ini tidak hanya berfungsi sebagai senjata, tetapi juga memiliki nilai seni dan spiritual yang mendalam.
Dalam artikel ini, kita akan menjelajahi asal-usul, makna, dan penggunaan Keris Tindih dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, serta bagaimana keris ini menjadi simbol kekuatan dan kebijaksanaan dalam tradisi budaya Indonesia.
Apa itu Keris Tindih?
Keris Tindih (tindhih) adalah istilah yang digunakan untuk menyebut keris yang diyakini memiliki tuah positif, khususnya di kalangan para kolektor tosan aji. Dalam komunitas ini, ada anggapan bahwa di antara koleksi keris yang dimiliki, mungkin ada beberapa yang mengandung energi atau tuah buruk. Meskipun kolektor merasa enggan untuk membuang atau menjual keris-keris tersebut, mereka juga tidak ingin terpengaruh oleh energi negatif yang mungkin ditimbulkan. Untuk mengatasi masalah ini, mereka cenderung mencari dan memiliki keris tindih sebagai solusi.
Keris tindih dipercaya memiliki kekuatan yang mampu meredam dan menangkal pengaruh buruk yang dapat ditimbulkan oleh keris lain. Dengan memiliki satu atau beberapa keris tindih, para kolektor merasa lebih aman dan terlindungi dari potensi dampak negatif yang mungkin dihasilkan oleh keris yang kurang bermanfaat.
Umumnya, keris yang sering dianggap sebagai keris tindih adalah keris-keris tangguh tua, yang memiliki desain dan filosofi tertentu, seperti keris berdapur Jalak Budo, Betok, Semar Tinandu, dan Semar Betak. Meskipun demikian, penentuan apakah sebuah keris dapat dianggap sebagai keris tindih tidak semata-mata didasarkan pada dapurnya. Misalnya, dapur Tilam Upih, jika diyakini benar-benar tangguh tua, juga dapat dianggap sebagai keris tindih, menunjukkan fleksibilitas dalam interpretasi dan penilaian kolektor.
Keris tindih juga memiliki keunikan dalam penyimpanan dan pemakaiannya. Di kalangan pecintanya, keris ini hampir selalu dilengkapi dengan warangka sandang walikat, yang dianggap lebih cocok untuk menyimpan keris tindih. Beberapa keris mungkin juga menggunakan warangka gayaman, tetapi keris tindih hampir tidak pernah ditempatkan dalam warangka ladrang atau branggah.
Dalam hal penyimpanan, keris tindih biasanya ditempatkan di rak paling atas dalam lemari pusaka, sebagai simbol penghormatan dan perlindungan. Penempatan ini mencerminkan posisi keris tindih sebagai pelindung, menunjukkan pentingnya peran keris ini dalam menjaga keseimbangan energi dalam koleksi keris yang lebih luas. Dengan demikian, keris tindih bukan hanya sekadar benda, tetapi juga simbol dari keyakinan dan nilai spiritual yang mendalam dalam tradisi budaya Indonesia.
Sejarah Singkat dan Filosofi Keris Tindih Paling Tua
Keris Tindih, khususnya yang dikenal dengan nama Jalak Budha, memiliki sejarah yang kaya dan filosofi mendalam yang mencerminkan kebudayaan dan spiritualitas masyarakat Indonesia. Inspirasi awal untuk menciptakan keris ini berasal dari burung jalak, yang selama berabad-abad dianggap sebagai simbol kedekatan dengan kaum petani. Temuan keris tertua yang berdapur Jalak ini menegaskan pentingnya burung tersebut dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, khususnya dalam konteks pertanian.
Dhapur Jalak, sebagai salah satu bentuk keris lurus, ditandai oleh ukuran bilah yang lebar, panjang yang sedang, dan bagian sor-soran yang agak tebal. Gandiknya biasanya polos dengan pejetan dangkal, serta sering kali dilengkapi dengan sogokan rangkap di bagian depan dan belakang. Semua ciri ini membentuk estetika keris yang tidak hanya indah, tetapi juga sarat makna.
Menurut Serat Pustaka Raja Purwa, penciptaan dhapur Jalak diawali oleh titah Prabu Sri Samaratungga, raja dari Kerajaan Mataram Budha di Jawa Tengah. Dalam perenungannya, sang raja mendapatkan wahyu bahwa untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyatnya, ia harus memuliakan burung jalak, yang saat itu dikenal sebagai pelindung bagi para petani.
Dikenal sebagai raja yang sangat peduli pada rakyatnya, Prabu Sri Samaratungga sering melakukan blusukan ke seluruh pelosok negeri. Ia ingin melihat langsung kondisi kehidupan masyarakat, bukan sekadar menerima laporan dari para bawahannya. Dalam upaya untuk memahami dan merasakan apa yang dialami rakyat, kadang-kadang ia menyamar menjadi rakyat biasa. Keterlibatan langsung ini menunjukkan kepemimpinannya yang bijaksana dan cinta kasih terhadap rakyatnya.
Menyusul pengamatan dan refleksi mendalam tersebut, Raja meminta para empu keraton untuk menciptakan keris yang merangkum makna burung jalak. Proses pengendapan batin yang dialami para empu menghasilkan keris dhapur Jalak, yang kemudian disebut Jalak Budha. Sang Raja sangat gembira dengan hasil ciptaan ini, hingga pada tahun 820 M, ia memaklumkan keris Jalak Budha sebagai pusaka negara, sebuah pengakuan akan kekuatan dan nilai spiritualnya. Titah sang raja berbunyi: “Reungeunta i sakweh kita, sun maule Sang Jalak Budha dadyeka raksa ri nagara,” yang berarti kurang lebih: “Dengarkanlah olehmu semua, aku muliakan Sang Jalak Budha menjadi penjaga negara.”
Bentuk maknawi burung jalak dapat dilihat dari desain bilah kerisnya. Profil kepala burung jalak tergambar jelas; pejetan melambangkan dahi, sedangkan sogokan di bagian depan menggambarkan paruh atas, dan sogokan di bagian belakang menggambarkan paruh bagian bawah serta leher burung.
Secara keseluruhan, keris Sang Jalak bukan sekadar senjata, tetapi juga simbol kebersamaan antara raja dan para penggerak negara dalam menjaga dan melindungi kehidupan agraris rakyat. Keris ini mengingatkan semua jajaran negara, dari pangeran hingga petani, untuk meneladani sifat-sifat baik burung jalak yang senantiasa mendukung dan mengayomi rakyat.
Filosofi di balik keris Jalak Budha menekankan tanggung jawab setiap pemimpin untuk mengayomi dan menjaga kesejahteraan rakyat. Dalam titahnya, Prabu Sri Samaratungga mengingatkan bahwa seorang bangsawan yang tidak melindungi rakyat, meskipun memiliki sifat-sifat mulia, hanyalah benalu parasit yang tidak lebih baik dari serangga pengganggu. Dengan demikian, keris Jalak Budha menjadi simbol dari idealisme kepemimpinan yang berpihak kepada rakyat, sekaligus melambangkan kekuatan dan kebijaksanaan yang harus dimiliki oleh setiap penguasa.
Kesimpulan
Dalam tradisi tosan aji, Keris Tindih memegang peranan penting sebagai simbol perlindungan dan penyeimbang energi dalam koleksi keris. Keberadaan keris ini tidak hanya sekadar untuk mengurangi pengaruh buruk dari keris lain, tetapi juga menjadi representasi dari nilai-nilai spiritual dan filosofi yang mendalam. Dengan karakteristik unik dan makna yang terkandung di dalamnya, keris tindih, khususnya yang berdapur Jalak Budha, mencerminkan hubungan erat antara pemimpin dan rakyat serta tanggung jawab moral yang diemban oleh seorang penguasa.
Bagi para kolektor, memiliki keris tindih bukan hanya sekadar menambah koleksi, tetapi juga sebagai upaya untuk menjaga harmoni dan kesejahteraan. Dengan segala simbolik yang terkandung, keris tindih menjadi bagian tak terpisahkan dari warisan budaya Indonesia yang patut dihargai dan dilestarikan. Melalui pemahaman akan keris tindih, kita dapat lebih menghargai keberagaman dan kedalaman makna yang ada dalam setiap pusaka yang kita miliki.