Slingadigital.com – Arti dan Makna Segehan Agung : Budaya Bali. Segehan Agung merupakan salah satu ritual penting dalam budaya Bali yang menyimpan banyak makna mendalam. Sebagai bentuk persembahan, segehan agung dihadirkan untuk menghormati para dewa dan memohon keselamatan serta keberkahan bagi masyarakat. Dalam konteks ini, arti dan makna segehan agung tidak hanya terletak pada bentuk fisiknya, tetapi juga pada nilai-nilai spiritual dan sosial yang terkandung di dalamnya.
Artikel ini akan membahas lebih dalam tentang segehan agung, mulai dari bahan-bahan yang digunakan hingga simbolisme yang mendasari praktik ini, serta bagaimana tradisi ini terus dihidupkan dalam kehidupan masyarakat Bali modern.
Arti dan Makna Segehan Agung
Makna segehan agung dalam kebudayaan Bali merupakan hal yang sangat penting dan sakral. Menurut Kamiartha (1992), segehan agung adalah segehan yang beralaskan nyiru yang berisi nasi, bawang merah, jahe, garam, dan uang. Biasanya, sěgěhan agung dilengkapi dengan kelapa dan telur itik mentah.
Di tengahnya, segehan biasanya diberi tempat sebagai alas kelapa yang di sampingnya disusun sebuah kemiri, telur, pangi ‘keluek’, gagantusan, dan peselan. Di luar segehan, diisi nasi dalam 11 porsi yang disusun berdasarkan arah mata angin. Segehan tersebut juga dilengkapi dengan canang gantal dan canang rebong. Seusai dipersembahkan, beras serta perlengkapannya ditaburkan ke empat penjuru, yaitu Timur, Selatan, Barat, dan Utara.
1. Arti dan Makna Segehan Agung
Arti dan makna yang terkandung dalam wujud ritual segehan agung sangat mendalam. Kata “agung” dalam konteks ini bukan berarti “besar,” melainkan “menyeluruh.” Maksudnya, segehan agung bukanlah sekadar segehan besar seperti pemahaman masyarakat Hindu pada umumnya, melainkan sěgěhan yang ditujukan kepada seluruh bhuta kala dan pengikut-Nya.
Hal ini tercermin dari nasi 11 porsi yang ditaruh berdasarkan mata angin dan dari beras serta perlengkapan yang ditaburkan ke empat penjuru mata angin. Nasi yang ditaruh di setiap arah mata angin mengandung makna bahwa segehan itu ditujukan kepada seluruh bhuta kala yang ada di segala penjuru mata angin. Dengan demikian, ritual ini mencerminkan rasa syukur dan penghormatan kepada entitas spiritual yang ada di sekitar.
Dalam bukunya yang berjudul Mengapa Bali Disebut Bali, Ketut Wiana (2004) menjelaskan bahwa penaburan beras dan perlengkapan lainnya mengandung makna sebagai pemberian kepada seluruh bhuta kala yang menempati keempat penjuru dan mungkin tidak dapat hadir saat ritual dilaksanakan. Tradisi ini menunjukkan bahwa masyarakat Bali sangat menghargai keberadaan dan peran bhuta kala dalam kehidupan sehari-hari, serta mengakui bahwa mereka juga memiliki hak untuk menerima persembahan dan penghormatan.
2. Tradisi dan Tata Cara Ritual Segehan Agung
Tradisi dan tata cara saat menghaturkan segehan agung terdiri dari beberapa tahapan. Tahap pertama adalah menghaturkan segehannya terlebih dahulu yang berdampingan dengan api takep. Api ini melambangkan pembersihan dan penyucian, menciptakan suasana sakral yang diperlukan untuk menghubungkan dunia manusia dengan dunia roh.
Tahap kedua adalah memecahkan buah kelapa menjadi lima, diletakkan mengikuti arah mata angin. Kelapa memiliki simbolisme yang kuat dalam ritual Bali, sering kali mewakili kehidupan dan keseimbangan. Pecahan kelapa ini tidak hanya berfungsi sebagai bagian dari persembahan, tetapi juga sebagai pengingat akan pentingnya menjaga keseimbangan antara dunia fisik dan spiritual.
Tahap berikutnya adalah memutuskan leher anak ayam, sehingga darahnya menciprat keluar dan dioleskan pada kelapa yang telah dipecahkan tadi. Tindakan ini memiliki makna simbolis, sebagai bentuk pengorbanan yang menyucikan. Telur kemudian dipecahkan dan di “ayabin,” ditutup dengan tetabuhan, melengkapi proses ritual. Semua elemen ini menciptakan harmoni dan koneksi dengan kekuatan yang lebih tinggi, sehingga persembahan menjadi lebih berkesan dan memiliki makna yang dalam.
Melalui setiap langkah dan elemen dalam ritual segehan agung, masyarakat Bali tidak hanya menghormati tradisi mereka, tetapi juga memperkuat hubungan spiritual dengan leluhur dan entitas yang mengawasi mereka. Ritual ini menjadi bagian integral dari kehidupan spiritual masyarakat Bali, yang terus melestarikan nilai-nilai dan kepercayaan yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Mantra Menghaturkan Segehan Agung
Adapun mantram untuk menghaturkan Segehan Agung:
OM Sang Hyang Purusangkara, anugraha ring Sang Kala Sakti, Sang Hyang Rudra anugraha ring Sang Kala Wisesa, Sang Hyang Durga Dewi, anugraha ring Sang Dengen, ameng-ameng padenira paduka Betara Sakti anunggu ri bhumi, ring pura Parhyangan, natar paumahan, di Dalem pasuguhan wates setra pabayangan, salwir lemah angker, manusa aweh tadah saji sira watek Kala Bhuta kabeh, iti tadah sajinnira sega iwak sambleh, asing kirang asing luput nyata pipis sabundel patukuna sira ring pasar agung, pilih kebelanira-ajaken sangkalanira kabeh, nyah saking kene, apan sira sampun sinaksenan, wehana manusanira urip waras, dirgayusa. OM Kala bhoktaya namah, Bhuta bhoktaya namah, Pisaca bhoktaya namah, Durga bhotaya namah.
Jenis-Jenis Segehan Lainnya
Selain Segehan Agung, masyarakat Bali memiliki beragam jenis segehan lainnya yang digunakan dalam berbagai upacara ritual keagamaan. Setiap jenis segehan memiliki makna dan tujuan tertentu, mencerminkan kekayaan tradisi dan spiritualitas masyarakat Bali. Mengutip laman kesresetda.bulelengkab.go.id, berikut adalah beberapa macam segehan yang umum digunakan sebagai persembahan:
1. Segehan Kepel Putih
Segehan kepel putih adalah jenis segehan yang paling sederhana dan paling sering digunakan dalam praktik sehari-hari. Terbuat dari nasi putih, segehan ini biasanya dipersembahkan kepada Sang Dewa setiap hari sebagai bentuk penghormatan dan pengabdian. Kesederhanaannya tidak mengurangi nilai spiritual yang terkandung di dalamnya, melainkan justru mencerminkan ketulusan niat dan harapan dari penyaji.
2. Segehan Putih Kuning
Segehan putih kuning merupakan kombinasi dari dua jenis nasi, yakni nasi putih dan nasi kuning. Persembahan ini sering diletakkan di bawah pelinggihan rumah dan dilengkapi dengan doa-doa yang dipanjatkan oleh pemilik rumah. Nasi kuning melambangkan kemakmuran dan kekayaan, sementara nasi putih melambangkan kesucian. Kombinasi ini menggambarkan harapan agar rumah tersebut senantiasa dilimpahi berkah dan perlindungan dari dewa-dewi.
3. Segehan Kepel Warna Lima
Segehan kepel warna lima adalah jenis segehan yang lebih kompleks, biasanya diletakkan pada pintu masuk pekarangan rumah atau di perempatan jalan. Segehan ini terdiri dari nasi dengan lima warna yang berbeda: putih, merah, kuning, hitam, dan brumbun. Masing-masing warna memiliki simbolisme tersendiri; misalnya, putih melambangkan kesucian, merah melambangkan keberanian, kuning melambangkan kemakmuran, hitam melambangkan kekuatan, dan brumbun melambangkan keseimbangan. Penempatan warnanya juga mengikuti aturan khusus, mencerminkan harmoni dan keseimbangan dalam hidup.
Setiap jenis segehan ini bukan hanya sekadar makanan yang dipersembahkan, tetapi juga simbol dari harapan, niat baik, dan pengabdian yang mendalam kepada kekuatan yang lebih tinggi. Dengan memahami berbagai jenis segehan ini, kita dapat lebih menghargai kekayaan budaya dan spiritualitas yang ada di Bali.
Penutup
Dalam tradisi dan budaya masyarakat Bali, Segehan Agung memiliki arti dan makna yang sangat mendalam. Sebagai bentuk persembahan yang penuh simbolisme, Segehan Agung tidak hanya berfungsi sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, tetapi juga sebagai ungkapan rasa syukur dan harapan untuk keselamatan serta kesejahteraan. Melalui ritual ini, masyarakat Bali menunjukkan penghormatan terhadap alam, leluhur, dan kekuatan spiritual yang ada di sekitar mereka.
Dengan memahami arti dan makna Segehan Agung, kita diajak untuk lebih menghargai nilai-nilai budaya dan spiritual yang terkandung dalam setiap prosesi, serta mendorong kita untuk menjaga dan melestarikan warisan budaya yang kaya ini. Semoga artikel ini dapat memberikan wawasan yang lebih dalam tentang Segehan Agung dan menginspirasi pembaca untuk terus menggali dan memahami kebudayaan lokal yang sarat dengan filosofi dan nilai-nilai kehidupan.