Slingadigital.com – Ketahui Mantra Otonan Mewat Kawat Mebalung Besi. Dalam dunia spiritual dan tradisi kejawen, Mantra Otonan Mewat Kawat Mebalung Besi menjadi salah satu ungkapan yang penuh makna dan kekuatan. Mantra ini dipercaya dapat memberikan perlindungan dan kekuatan kepada pemiliknya, serta membantu dalam menghadapi berbagai rintangan hidup.
Mewat, yang berarti ‘melalui’ atau ‘menembus’, menunjukkan kemampuan mantra ini untuk mengatasi berbagai tantangan, sementara “Kawat Mebalung Besi” melambangkan ketahanan dan kekuatan yang tak tergoyahkan. Dalam artikel ini, kita akan mengeksplorasi lebih dalam mengenai makna, ritual, dan cara penggunaan mantra ini, serta bagaimana ia dapat dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari.
Mengenal Otonan Mewat Kawat Mebalung Besi
Otonan, dalam konteks agama Hindu di Bali, sering disebut sebagai sarira samskara atau, dalam aspek ritual, dikenal dengan sebutan Yadnya. Ketika membahas upacara, kita tidak bisa mengabaikan unsur-unsur agama yang meliputi yantra, tantra, mandala, kala, dan tentu saja, mantra otonan mewat kawat mebalung besi.
Waktu atau kala merupakan aspek yang sangat penting, karena dalam agama Hindu, waktu dianggap sebagai siklus yang disebut wriga (hari). Dalam konteks ritual manusa Yadnya, otonan menjadi kunci, di mana setiap individu membawa dewasa-nya masing-masing sesuai dengan hari kelahirannya.
Namun, saat ini banyak masyarakat yang mengalami kebingungan atau bahkan kesalahan dalam menentukan hari kelahiran. Hal ini terjadi karena banyak orang lebih mengenal waktu secara universal, sehingga setelah pukul 00.00 atau lewat tengah malam, mereka menganggap hari sudah berganti. Namun, dalam tradisi Hindu, khususnya dalam perhitungan adat Bali, rahina/ngawit rahina atau memulai hari dimulai saat galang kangin/surya prabatama atau awang wetan, yaitu saat sinar matahari pertama kali terlihat meskipun matahari itu sendiri belum sepenuhnya muncul.
Pengetahuan ini penting untuk diketahui oleh setiap orangtua, karena pelaksanaan upacara otonan memiliki peranan yang sangat krusial. Kelahiran sejatinya merupakan saat di mana rohani menjasmani, di mana Sang Atman mengambil bentuk fisik dan pikiran. Oleh karena itu, fungsi ritual dengan menggunakan mantra otonan mewat kawat mebalung besi sangat relevan dalam proses pengambilan badan dan pikiran ini, agar manusia tidak mengalami degradasi spiritual.
Ritual ini juga sering disebut banten otonan, yang bertujuan untuk mengembalikan manusia pada hakikatnya, yaitu lahir ke dunia untuk menebus dosa-dosa dari kehidupan sebelumnya. Dalam prosesi otonan, terdapat harapan yang terkandung dalam mantra: “Pang nyak pait getihne, mawat kawat mabalung besi.” Mantra ini biasanya diucapkan oleh orangtua saat memimpin upacara otonan anaknya.
Namun, penting untuk tidak memahami mantra ini secara harfiah, karena terdapat filosofi yang mendalam di baliknya. Mantra otonan mewat kawat mebalung besi mengandung makna bahwa kita lahir untuk berkarma dan berperilaku baik. Kekuatan fisik yang baik akan mendukung karma yang kita jalani, sebagaimana dinyatakan dalam sarasamuscaya:
“Apan ikang dadi wang uttama juga ya, nimittaniang mangkana, wenang ya tinulung awaknya sangkeng sangsara, maka sedanang subhakarma hinganina kotama dadi wang ikamaning.”
Artinya, menjadi manusia yang baik adalah sangat penting, karena ia dapat menolong diri sendiri dari penderitaan melalui karma yang baik.
Secara umum, tujuan diadakannya otonan atau maoton adalah untuk merayakan hari kelahiran dan sebagai ungkapan terima kasih kepada Hyang Guru serta leluhur atas kehidupan yang telah diberikan, dengan harapan “Dumogi Rahayu svaha.”
Mantra Otonan Mewat Kawat Mebalung Besi
Dalam melaksanakan hari otonan, penting untuk menjadikan sistem kalender Saka-Bali sebagai acuan. Di Bali, pergantian hari atau tanggal ditandai dengan terbitnya matahari sekitar jam 6 pagi. Untuk bayi, upacara otonan mewat kawat mebalung besi biasanya dilakukan ketika anak telah berusia 105 hari.
Alasan di balik waktu tersebut adalah bahwa pada usia ini, organ tubuh bayi dianggap telah berkembang dengan baik dan semua panca indra sudah aktif. Panca indra yang berfungsi dengan baik sangat berpengaruh terhadap kesucian jiwa anak. Oleh karena itu, pelaksanaan upacara otonan yang dilakukan setiap tiga bulan sekali menjadi sangat penting untuk menjaga kesehatan spiritual dan fisik anak.
Mantra otonan mewat kawat mebalung besi yang diucapkan selama upacara ini memiliki makna dan tujuan yang mendalam. Berikut adalah beberapa mantra yang biasanya dipergunakan:
1. Mabya Kala / Bya Kaon
Om shang bhuta nampik lara sang bhuta nampik rogha,sang bhuta nampik mala,undurakna lara roga wighnanya manusanya.Om sidhirastu Yanama Swaha.
2. Matepung Tawar
Om purna candra purna bayu mangka purnaya manusa maring marcepada kadi langgenaning surya candra vmangklana langgenganipun manusyania. Om sidhirastu ya nama Swaha.
3. Mesesarik
kening; om sri sri ya nama swaha
bahu kanan: om anengenaken phala bhoga ya nama swaha
bahu kiri : om angiwangaken pansa bhaya bala rogha ya nama swaha
telapak tangan : om ananggapaken phala bhoga ya nama swaha
tengkuk : om angilangaken sot papaning wong ya nama swaha
dada : om anganti ati sabde rahayu
4. Matebus Benang
om angge busi bayu premana maring angge sarire Natab sesayut
Namun, dalam melakukan natab sesayut ada 2 mantra yang bisa dipergunakan untuk otonan mewat kawat mebalung besi sederhana yaitu:
A. Sesayut Bayu Rauh Sai
Om sanghyang jagat wisesa ,metu sira maring bayu, alungguh maring bungkahing adnyana sandi om om sri paduka guru ya namah.
Om ung sanghyang antara wisesa , metu sira maring sabda, alungguh maring madyaning adnyuana sandi om om sri sri paduka guru ya namah.
Om mang sanghyang jagat wisesa . metu sire maring idep. alungguh maring tungtungngin adnyana sandi om om sri paduka guru ya namah.
B. Seayut Pangenteg Bayu
om dabam jaya bayu krettan dasa atma dasa premanam sarwa angga m,a sariram
wibbbbuh bhuanam dewat makam.
Jadi, otonan mewat kawat mebalung besi tidak mesti dilakukan upacara besar dan mewah, yang terpenting adalah nilai rohaninya. Sehingga nilai rohani tersebut bisa mentransformasikan pencerahan kepada setiap orang yang melakukan otonan mewat kawat mebalung besi.
Tidak ada gunanya jika melakukan otonan mewat kawat mebalung besi yang besar, namun si anak tidak pernah diajarkan untuk sungkem serta hormat kepada orang yang lebih tua. Nantinya akan sia-sia upacara otonan tersebut jika hanya sebagai sarana pamer kepada tetangga.
Penting untuk dicatat bahwa pelaksanaan otonan mewat kawat mebalung besi tidak selalu harus dilakukan dengan upacara yang besar dan megah. Yang terpenting adalah nilai rohani yang terkandung dalam ritual tersebut. Nilai-nilai spiritual inilah yang akan memberikan pencerahan kepada setiap orang yang terlibat dalam upacara.
Sebuah upacara otonan yang diadakan secara megah menjadi tidak berarti jika anak tidak diajarkan untuk menghormati orang tua dan orang yang lebih tua. Tanpa pengajaran nilai-nilai tersebut, upacara otonan bisa menjadi sia-sia dan hanya berfungsi sebagai sarana pamer kepada tetangga. Oleh karena itu, penting untuk menanamkan etika dan sopan santun dalam diri anak, agar makna dari otonan mewat kawat mebalung besi benar-benar dapat dirasakan dan dihayati dalam kehidupan sehari-hari.
Tata Cara Otonan Mewat Kawat Mebalung Besi
Setelah memahami mantra otonan mewat kawat mebalung besi, kini kita akan membahas tata cara pelaksanaannya. Proses ini bersifat fleksibel dan tidak perlu dilakukan secara mewah, karena semuanya tergantung pada niat dan ketulusan masing-masing.
Dalam prosesi otonan mewat kawat mebalung besi, masyarakat biasanya menggunakan banten tumpeng tiga atau tumpeng lima. Jika memilih banten tumpeng lima, umumnya terdiri dari:
- Banten Pengambeyan
- Banten Dapetan
- Banten Peras
- Banten Pejati
- Banten Sesayut
- Banten Segehan
Selain itu, terdapat juga sarana-sarana lain seperti Bija, Dupa, Tonya Anyar, Tirta Panglukatan, dan Tirta Hyang Sang Guru. Sebelum melaksanakan prosesi otonan mewat kawat mebalung besi, sang Ibu dari anak yang akan diotoni akan melaksanakan beberapa tahapan berikut:
- Ngayab Sarana Banten
Sang Ibu akan mengayab sarana banten di hadapan Sang Hyang Atma sebagai tanda bahwa hari tersebut merupakan hari lahirnya Sang Hyang Atma saat menjelma menjadi manusia di bumi. - Menghaturkan Segehan
Selanjutnya, segehan akan diletakkan di bawah bale atau tempat di mana prosesi akan dilakukan. Ini dimaksudkan untuk memohon kepada Sang Hyang Butha Kala agar proses otonan mewat kawat mebalung besi dapat berlangsung dengan lancar dan agar anak terhindar dari segala marabahaya.
Setelah melaksanakan tahapan di atas, prosesi selanjutnya meliputi:
1. Mesapuh Sapuh
Tahap pertama adalah mengusapkan kedua tangan anak dengan Buu. Dimulai dari tangan kanan ke tangan kiri, Sang Ibu akan mengucapkan mantra otonan mewat kawat mebalung besi dalam bahasa Bali:
“Ne cening jani mesapuh-sapuh, apang ilang dakin liman ceninge, apang kedas cening ngisiang urip”
Artinya, agar semua kotoran di tangan anak hilang, sehingga diharapkan ia dapat memegang kehidupan dengan tangan yang bersih. Setelah itu, usapan Toya Anyar dilakukan untuk menghilangkan mala atau leteh pada anak tersebut.
2. Matepung Tawar
Prosesi berikutnya adalah matepung tawar, yang menggunakan sarana daun dadap. Daun ini akan diusapkan pada kedua tangan anak yang sedang diotoni. Sang Ibu mengucapkan mantra otonan mewat kawat mebalung besi:
“Jani cening masegau, suba leh liman ceninge. Melah-melah ngembel rahayu”
Artinya, tangan yang telah dibersihkan diharapkan dapat memegang segala kerahayuan (keselamatan dan kesejahteraan) dengan baik. Kemudian, Sang Ibu akan memercikan Tirta Panglukatan untuk menyucikan dan menetralkan kembali Sang Hyang Atma, agar jiwa yang bersangkutan senantiasa tetap suci dan dalam keselamatan baik secara sekala maupun niskala.
3. Matebus
Lanjut dengan prosesi matebus, yang menggunakan dua helai benang putih. Salah satu benang diletakkan di kepala atau telinga anak, sedangkan benang lainnya dililitkan menjadi gelang di pergelangan tangan kanan anak, sambil membaca mantra:
“Jani cening magelang benang, apang cening mewat kawat mebalung besi”
Artinya, dengan mengenakan gelang tersebut, diharapkan Sang Anak memiliki tubuh yang sehat seperti otot kawat dan tulang besi. Setelah itu, Tirta Hyang Guru dipercikkan sebagai permohonan agar anak memperoleh kesehatan, keselamatan lahir batin, serta perlindungan dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta manifestasi-Nya.
4. Ngayab Sesayut
Terakhir, prosesi ngayab sesayut dilakukan dengan memutar jarum jam oleh Sang Ibu sambil membaca mantra otonan mewat kawat mebalung besi:
“Ne cening ngilehang sampan, ngilehang perahu, batu mokocok, tungked bungbungan, tekad dipasisi napetang perahu bencah”
Hal ini bertujuan agar Sang Anak tetap teguh dalam pendiriannya dan memiliki kepribadian yang stabil dalam menjalani kehidupan di dunia.
Penutup
Mantra Otonan Mewat Kawat Mebalung Besi memiliki makna yang mendalam dalam tradisi spiritual dan budaya masyarakat. Melalui prosesi ini, kita tidak hanya menjalankan ritual, tetapi juga menanamkan harapan akan kesehatan, keselamatan, dan kekuatan bagi anak yang diotoni. Dengan mengikuti tata cara yang telah dijelaskan, setiap orang tua dapat menghadirkan berkah dan perlindungan kepada anak-anak mereka.
Semoga setiap pelaksanaan prosesi ini membawa kebahagiaan dan kemakmuran, serta menjadikan mantra ini sebagai pengingat akan pentingnya niat dan ketulusan dalam setiap langkah kehidupan. Dengan demikian, Mantra Otonan Mewat Kawat Mebalung Besi dapat menjadi simbol kekuatan dan keutuhan bagi generasi mendatang.