Slingadigital.com – Mengenal Tradisi Munggah Molo Secara Lengkap. Di tengah keberagaman budaya yang ada di Indonesia, tradisi-tradisi lokal yang kaya akan makna spiritual tetap dilestarikan hingga saat ini. Salah satunya adalah tradisi Munggah Molo, yang memiliki nilai filosofis dan tujuan khusus dalam kehidupan masyarakat Jawa. Tradisi ini sering kali dihubungkan dengan upacara atau ritual yang melibatkan pengorbanan atau persembahan tertentu untuk memohon keselamatan, kelimpahan, dan kesejahteraan.
Munggah Molo bukan sekadar sebuah adat atau kebiasaan, tetapi lebih dari itu, ia mengandung makna mendalam tentang penghormatan kepada leluhur dan alam semesta. Ritual ini dipercaya memiliki kekuatan spiritual yang dapat membawa keberkahan bagi pelakunya, baik dalam aspek kehidupan pribadi maupun sosial. Dalam artikel ini, kita akan Mengenal Tradisi Munggah Molo dan mengupas lebih dalam mengenai tradisi Munggah Molo, latar belakang, dan makna yang terkandung di dalamnya.
Mengenal Tradisi Munggah Molo
Tradisi Munggah Molo adalah salah satu adat istiadat yang dilakukan oleh masyarakat Jawa pada saat proses pembangunan rumah, khususnya saat atap rumah akan dipasang. Munggah dalam bahasa Jawa berarti “naik,” sedangkan Molo berasal dari kata polo, yang berarti “kepala.” Tradisi ini dipercaya memiliki makna spiritual yang mendalam, dan bertujuan untuk memberikan keselamatan serta keberkahan bagi pemilik rumah, keluarga, dan para tukang yang terlibat dalam pembangunan rumah tersebut. Dengan dilaksanakannya tradisi ini, masyarakat Jawa percaya bahwa rumah yang dibangun akan kokoh dan terhindar dari bahaya.
A. Proses dan Persiapan Tradisi Munggah Molo
Penting untuk dicatat bahwa tradisi Munggah Molo tidak bisa dilaksanakan pada sembarang hari. Sebelum melaksanakan ritual ini, pemilik rumah harus berkonsultasi dengan sesepuh atau orang yang lebih tua yang memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam tradisi tersebut. Sesepuh akan memberikan petunjuk mengenai hari yang baik dan tepat untuk melaksanakan upacara ini, agar segala sesuatunya berjalan lancar dan penuh berkah.
Dalam pelaksanaannya, setelah hari yang telah ditentukan, pemilik rumah akan mengadakan syukuran atau hajatan yang dihadiri oleh keluarga, tetangga sekitar, dan para tukang yang bekerja membangun rumah. Seorang sesepuh atau tokoh adat biasanya akan memimpin jalannya upacara Munggah Molo. Syukuran ini biasanya diisi dengan bacaan tahlilan dan sholawat bersama, sebagai bentuk rasa syukur atas segala karunia yang diberikan oleh Tuhan.
Sebagai bagian dari ritual, pemilik rumah juga menyiapkan berbagai jenis makanan, termasuk jajanan pasar, jenang delapan rupa, pisang, ayam ingkung, dan tumpeng. Makanan-makanan ini bukan hanya sebagai hidangan untuk tamu, tetapi juga memiliki makna simbolis yang mendalam, seperti untuk keberkahan dan kelancaran dalam hidup.
B. Uborampe: Barang-Barang yang Dikenakan pada Kayu Penyangga Atap
Salah satu bagian yang sangat penting dalam tradisi Munggah Molo adalah penempatan uborampe atau barang-barang yang akan diikatkan pada kayu penyangga atap (blandar). Uborampe terdiri dari berbagai benda simbolis yang memiliki makna tertentu, antara lain:
- Tebu Manten: Tebu yang diikatkan sebagai simbol agar pemilik rumah selalu menanam kebaikan dalam hidupnya.
- Ikatan Padi: Melambangkan pemenuhan kebutuhan pangan keluarga, agar selalu tercukupi dan diberkahi dengan keberlimpahan.
- Dua Buah Kelapa Gading: Melambangkan manfaat yang bisa diperoleh oleh keluarga dalam berbagai kondisi kehidupan.
- Bendera Merah Putih: Sebagai simbol kecintaan terhadap tanah air dan negara.
- Pakaian Keluarga: Melambangkan pemenuhan kebutuhan sandang bagi keluarga.
- Payung: Sebagai perlindungan dari segala mara bahaya dan bencana.
- Stagen (Bengking): Mengandung makna agar pemilik rumah diberikan umur panjang dan kesehatan.
Selain itu, ada kain putih yang diikatkan di tengah kayu penyangga dan dipaku dengan paku emas. Paku emas ini melambangkan kekuatan dan daya tahan rumah yang sedang dibangun.
C. Penutupan Tradisi Munggah Molo
Setelah atap berhasil dipasang dan proses Munggah Molo selesai dilakukan, ada beberapa barang lagi yang diletakkan di bawah kayu penyangga atap, seperti pisang raja satu tandan, kendi berisi uang receh, dan beras. Barang-barang ini memiliki makna untuk mendatangkan keberlimpahan rezeki dan kemakmuran bagi pemilik rumah. Pisang raja melambangkan keberkahan, uang receh dan beras diharapkan menjadi simbol kelimpahan rejeki yang akan terus mengalir.
Setelah proses Munggah Molo selesai, para tukang akan melanjutkan pekerjaannya hingga rumah selesai dibangun. Meskipun tradisi ini bervariasi di setiap daerah, tergantung pada kepercayaan dan adat setempat, esensi dari ritual ini tetap sama, yakni untuk memohon perlindungan, keberkahan, dan kelancaran dalam proses pembangunan serta kehidupan rumah tangga yang akan dihuni.
Tradisi Munggah Molo tidak hanya sekadar ritual atau adat, tetapi juga menjadi sebuah bentuk penghormatan terhadap leluhur dan alam. Dengan melaksanakan tradisi ini, masyarakat Jawa percaya bahwa rumah yang dibangun tidak hanya akan berdiri kokoh, tetapi juga akan membawa kebahagiaan dan kemakmuran bagi penghuninya.
Penutup
Tradisi Munggah Molo merupakan salah satu warisan budaya Jawa yang sarat akan makna spiritual dan simbolis. Melalui ritual ini, masyarakat Jawa meyakini bahwa rumah yang dibangun dengan penuh perhitungan dan doa akan diberkahi dengan keselamatan, keberkahan, serta keberlangsungan hidup yang baik bagi penghuninya. Setiap barang dan makanan yang disiapkan dalam prosesi Munggah Molo memiliki tujuan mendalam, yang bukan hanya untuk kebaikan fisik, tetapi juga untuk kesejahteraan batin dan spiritual.
Walaupun tradisi ini memiliki variasi di setiap daerah, inti dari upacara ini tetap sama, yaitu untuk memohon keselamatan, kelimpahan rezeki, dan perlindungan dari Tuhan Yang Maha Esa. Dengan begitu, Munggah Molo bukan sekadar sebuah ritual, melainkan juga sebuah bentuk rasa syukur dan penghormatan terhadap alam, leluhur, dan keberkahan hidup yang diharapkan dapat terwujud dalam setiap langkah kehidupan.