Slingadigital.com – Memahami Pengertian Pranakan : Lengkap. Pranakan adalah istilah yang kerap digunakan dalam konteks sosial dan budaya untuk menggambarkan keturunan atau keturunan campuran dari dua budaya atau etnis yang berbeda. Di Indonesia, istilah ini sering kali merujuk pada komunitas Tionghoa-Indonesia yang telah berasimilasi dengan budaya lokal selama berabad-abad.
Pranakan mencakup berbagai aspek kehidupan, termasuk bahasa, tradisi, makanan, dan gaya hidup yang unik, yang mencerminkan perpaduan antara warisan budaya leluhur dan budaya setempat. Memahami pengertian pranakan bukan hanya memberikan wawasan tentang keragaman budaya, tetapi juga menyoroti dinamika dan proses asimilasi yang terjadi dalam masyarakat multikultural.
Memahami Pengertian Pranakan
Busana pranakan ditetapkan pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono V (1823-1855). Busana yang dibuat untuk para kerabat dan Abdi Dalem ini konon terinspirasi dari baju kurung yang dikenakan para santri putri di Banten pada pertengahan abad ke-19 saat Sultan berkunjung ke daerah tersebut. Pranakan memiliki potongan bagian depan yang berhenti di ulu hati serta belahan di bagian lengan yang mempermudah singsing saat akan wudhu. Terdapat 6 kancing di leher depan yang dikaitkan dengan keenam rukun iman dan 5 kancing di setiap ujung lengan yang dikaitkan dengan kelima rukun Islam.
Secara bahasa, pranakan memiliki pengertian “rahim” atau “kandungan”. Penggunaan baju pranakan menyiratkan makna bahwa Abdi Dalem telah dipersaudarakan dalam keluarga besar Keraton Yogyakarta. Makna pranakan juga terlihat dari cara pemakaiannya yang sama dengan penggunaan kaus pada masa kini, membuat penggunanya tampak seperti bayi hendak keluar dari kandungan ibu. Baju dimasukkan terlebih dahulu ke bagian atas kepala atau dislobokke, persis seperti posisi kepala bayi ketika keluar dari rahim.
Bahan yang digunakan untuk membuat baju pranakan berupa kain lurik berwarna biru tua dan hitam dengan kombinasi corak garis berjumlah tiga dan empat atau disebut telupat, akronim dari telu-papat. Kata telupat sebagai nama pola lurik dikaitkan dengan ungkapan “kewulu minangka prepat”, artinya para Abdi Dalem itu dipersaudarakan dengan sesama serta didekatkan dan dianggap sebagai bagian tak terpisahkan dari Keraton Yogyakarta. Corak telupat ini diciptakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I (1755-1792). Angka tiga dan empat dalam corak telupat jika dijumlahkan menjadi tujuh. Bagi masyarakat Jawa, hitungan dan angka tujuh merupakan angka keberuntungan yang melambangkan kehidupan dan kemakmuran. Angka tujuh atau yang disebut “pitu” bermakna pitulungan, yaitu pertolongan dari Yang Maha Kuasa.
Memahami pengertian pranakan bukan hanya memberikan wawasan tentang keragaman budaya, tetapi juga menyoroti dinamika dan proses asimilasi yang terjadi dalam masyarakat multikultural. Pranakan sebagai konsep budaya mencerminkan kemampuan suatu komunitas untuk mengintegrasikan elemen-elemen budaya yang berbeda menjadi satu kesatuan yang harmonis. Dalam konteks Keraton Yogyakarta, busana pranakan bukan hanya sekadar pakaian, tetapi juga simbol persaudaraan, kesetiaan, dan integrasi sosial yang erat.
Sebagai warisan budaya yang kaya, busana pranakan mengajarkan nilai-nilai kebersamaan, gotong royong, dan penghargaan terhadap perbedaan. Melalui pemahaman yang lebih mendalam tentang pranakan, kita dapat melihat betapa pentingnya peran budaya dalam membentuk identitas dan solidaritas komunitas, serta bagaimana nilai-nilai tradisional masih relevan dan berharga dalam kehidupan modern.
Kelengkapan Busana Pranakan
Ketika mengenakan baju pranakan, ada peraturan mengenai kelengkapan yang wajib dipenuhi. Berikut adalah beberapa kelengkapan yang harus ada dalam busana pranakan:
1. Penutup Kepala (Udheng/Dhestar/Blangkon)
Abdi Dalem jaler mengenakan udheng dengan gagrak atau model khas Yogyakarta. Salah satu ciri khas udheng Yogyakarta adalah keberadaan mondolan, yaitu bagian belakang sebelah bawah udheng yang menonjol karena menutup gelung rambut. Udheng dikenakan dari depan kepala ke belakang agar mampu menarik rambut dan tidak menyisakannya sehelai pun di bagian dahi atau depan wajah.
2. Penutup Badan Bagian Bawah (Nyamping/Sinjang/Bebed/Jarit)
Kain nyamping yang dikenakan bercorak batik gagrak Yogyakarta di luar motif larangan. Kain dibebat pada pinggang dari kanan ke kiri. Sebelum dikenakan, nyamping harus diwiron engkol terlebih dahulu, yaitu wiru (lipatan) kain yang membentuk zigzag. Arah wiron engkol ujung paling bawah harus menunjuk ke arah kiri. Selain wiron engkol ada pula wiron pengasih yang berada di bagian dalam. Tambahan wiru ini berfungsi untuk melindungi saat Abdi Dalem jaler berada di posisi jongkok atau duduk.
3. Lapisan Penutup Pinggang
Terdiri dari tiga bagian yang dipakai secara berurutan:
- Setagen: kain pengikat jarik yang dililit melingkari perut.
- Lonthong: kain polos yang mengelilingi dan menutup setagen.
- Kamus: sabuk dengan kepala pengait yang disebut timang.
4. Atribut (Keris dan Samir)
- Keris: dikenakan oleh Abdi Dalem jaler dengan pangkat Bekel ke atas, diselipkan pada kain pinggang bagian belakang.
- Samir: kain atau pita penanda yang dikalungkan di leher hingga dada. Pemakaian samir menjadi tanda bahwa Abdi Dalem yang bersangkutan tengah melaksanakan tugas dari Sultan. Jika tidak digunakan, samir senantiasa diselipkan di bagian pinggang sebelah kanan.
Makna dan Pelestarian Busana Pranakan
Sejak masa Sri Sultan Hamengku Buwono V (1823-1855) hingga saat ini, penggunaan busana pranakan masih bertahan dengan baik di Keraton Yogyakarta. Pelestarian tradisi ini bukan hanya sebatas dalam bentuk fisik, namun juga makna yang terkandung dalam pakaian pranakan. Sebagaimana maknanya, rasa aman dan tenteram saat berada dalam pranakan menjadi simbol harapan terciptanya hubungan yang nyaman dan damai antara Sultan dan rakyatnya, sehingga tercipta Manunggaling Kawula lan Gusti (persatuan antara raja dan rakyatnya).
Dengan mengenakan busana pranakan, Abdi Dalem tidak hanya menunjukkan identitas dan kesetiaan mereka kepada Keraton Yogyakarta, tetapi juga menjaga dan melestarikan warisan budaya yang kaya dan bermakna. Tradisi ini mengajarkan nilai-nilai kebersamaan, penghargaan terhadap perbedaan, dan pentingnya menjaga harmoni dalam kehidupan sosial.
Penutup
Sebagai kesimpulan, Pengertian Pranakan mencerminkan sebuah warisan budaya yang kaya dan mendalam, khususnya dalam konteks Keraton Yogyakarta. Istilah ini tidak hanya menggambarkan pengetahuan tentang sejarah dan budaya, tetapi juga mempengaruhi cara kita memahami nilai-nilai dan simbolisme dalam busana tradisional.
Dengan memahami Pengertian Pranakan, kita tidak hanya merayakan keindahan dan keragaman budaya, tetapi juga melestarikan identitas yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Semoga artikel ini dapat memberikan wawasan yang lebih dalam mengenai betapa pentingnya memahami dan menghargai aspek-aspek budaya ini dalam kehidupan sehari-hari kita.