Slingadigital.com – Mengenal Tradisi Ruwatan : Pengertian dan Tujuan. Tradisi Ruwatan merupakan salah satu ritual yang sarat dengan makna dalam budaya Jawa, yang bertujuan untuk membersihkan seseorang dari segala bentuk kesialan, nasib buruk, atau hambatan yang menghalangi perjalanan hidup.
Sebagai bagian dari warisan budaya yang telah lama ada, Ruwatan tak hanya dilihat sebagai upacara keagamaan, tetapi juga sebagai sebuah cara untuk memperoleh keseimbangan spiritual dan fisik dalam kehidupan sehari-hari. Dalam artikel ini, kita akan Mengenal Tradisi Ruwatan dan mengupas lebih dalam tentang apa itu Ruwatan, sejarah, dan simbolisme yang terkandung dalam setiap prosesi yang dilakukan.
Mengenal Tradisi Ruwatan
Ruwatan adalah salah satu tradisi yang sudah dilakukan oleh masyarakat Jawa secara turun-temurun. Tradisi ini dipercaya memiliki peran penting dalam mencegah kesialan, bala bencana, dan berbagai masalah kehidupan lainnya. Sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur dan usaha untuk menjaga keseimbangan hidup, Ruwatan telah menjadi bagian integral dari kebudayaan Jawa yang kaya dengan makna dan simbolisme.
Di Yogyakarta, tradisi ini dirayakan dengan penuh khidmat, dengan masyarakat setempat meyakini bahwa Ruwatan adalah ritual untuk mengusir Bathara Kala, dewa jahat yang dianggap menjadi penyebab kesialan dan gangguan hidup. Masyarakat Jawa percaya bahwa melalui prosesi ini, mereka dapat mengembalikan keseimbangan energi baik dalam hidup mereka. Prof. Dr. Suwardi Endraswara dalam bukunya Etnologi Jawa (2015) menyebutkan bahwa tradisi Ruwatan tidak hanya berfungsi sebagai upacara untuk mengusir energi negatif, tetapi juga sebagai media untuk menyelaraskan energi positif dan negatif dalam tubuh dan lingkungan sekitar.
Sebagai bagian dari upacara Ruwatan, prosesi ini biasanya diisi dengan selamatan dan pembacaan doa-doa yang mengandung harapan akan keberkahan dan keselamatan. Masyarakat Jawa meyakini bahwa dengan melaksanakan Ruwatan, mereka tidak hanya membersihkan diri dari gangguan makhluk halus atau kekuatan negatif, tetapi juga menjaga kelestarian budaya leluhur yang penuh dengan nilai-nilai spiritual dan moral.
Menurut buku Dari Kearifan Lokal Digapai Kekuatan Nusantara yang disusun oleh Atiqa Sabardila dan kawan-kawan, tradisi Ruwatan terbagi menjadi tiga jenis, yaitu: ruwatan untuk diri sendiri, lingkungan, dan desa atau wilayah. Ketiga jenis Ruwatan ini memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk melakukan penyucian dari segala bentuk energi negatif yang mengganggu kehidupan sehari-hari. Dalam pelaksanaannya, setiap jenis Ruwatan memiliki prosesi dan tujuan yang sedikit berbeda, namun semuanya bermuara pada pencapaian kedamaian dan keseimbangan hidup.
Sebagai bagian dari ritual Ruwatan, masyarakat Jawa menggunakan sajen sebagai sarana komunikasi dengan makhluk tak kasat mata dan arwah leluhur. Sajen ini berupa makanan dan benda-benda tertentu yang memiliki makna simbolis. Penyajian sajen dalam tradisi Ruwatan dianggap sebagai hal yang wajib, meskipun ada sebagian yang melihatnya sebagai syarat semata. Beberapa jenis sajen yang digunakan antara lain kemenyan wangi (ratus), kain mori putih, kain batik, padi segedeng, beragam nasi, jenang, jajan pasar, lawe, aneka rujak, air tujuh sumber, dan bunga setaman.
Salah satu variasi unik dari tradisi Ruwatan adalah Ruwat Jolotundo, yang dilaksanakan di Candi Jolotundo di Mojokerto. Tradisi ini tidak hanya berfokus pada penyucian individu, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai syukur, kesadaran untuk melestarikan alam dan warisan leluhur, serta pentingnya hidup berdampingan dengan lingkungan. Candi Jolotundo sendiri dikenal sebagai situs wisata religi yang memiliki nilai historis dan spiritual yang mendalam bagi masyarakat Mojokerto. Melalui prosesi Ruwat Jolotundo, masyarakat berharap bisa mendapatkan keberkahan dan meningkatkan kualitas hidup mereka dalam berbagai aspek, baik secara spiritual, sosial, maupun lingkungan.
Secara keseluruhan, tradisi Ruwatan bukan hanya sebuah ritual keagamaan, tetapi juga merupakan ekspresi budaya yang mendalam tentang hubungan manusia dengan alam semesta, leluhur, dan kekuatan tak kasat mata yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari. Dengan terus melestarikan tradisi ini, masyarakat Jawa berusaha menjaga keseimbangan hidup yang harmonis, baik dalam dimensi spiritual, sosial, maupun lingkungan.
Tujuan Ruwatan
Ruwatan, yang berasal dari bahasa Jawa, memiliki arti untuk “membuang sial” atau “menyelamatkan seseorang dari berbagai gangguan.” Upacara ini dipercaya memiliki kekuatan untuk mengusir berbagai hal negatif yang dapat mempengaruhi kehidupan seseorang, seperti gangguan gaib, sihir, santet, atau bahkan masalah fisik seperti sakit. Selain itu, Ruwatan juga diyakini dapat membantu mereka yang sedang mengalami kesulitan dalam hidup, seperti kesulitan menemukan jodoh, merasa hidupnya tidak beruntung, atau tidak memiliki keturunan.
Pada dasarnya, tujuan utama dari tradisi Ruwatan adalah untuk memohon perlindungan dan keselamatan dengan cara yang tulus kepada Tuhan atau kekuatan gaib yang dipercaya oleh masyarakat Jawa. Ritual ini dianggap sebagai bentuk permohonan agar orang yang diruwat terbebas dari bencana atau malapetaka, serta memperoleh keselamatan dalam kehidupan mereka. Dengan demikian, Ruwatan berfungsi sebagai pelindung dari berbagai macam mara bahaya yang mengancam baik secara fisik maupun non-fisik, termasuk energi negatif yang datang dari luar diri mereka.
Namun, Ruwatan tidak hanya berfokus pada pengusiran gangguan atau bahaya. Tradisi ini juga bertujuan untuk mendatangkan berkah dalam hidup. Selain keselamatan, Ruwatan dipercaya dapat membawa berbagai manfaat positif, seperti kesehatan yang lebih baik, kedamaian, ketenteraman jiwa, kesejahteraan, dan kebahagiaan. Oleh karena itu, tradisi Ruwatan tidak hanya dilakukan untuk membersihkan diri dari hal-hal buruk, tetapi juga untuk mencapai kehidupan yang lebih baik dan sejahtera.
Secara lebih mendalam, Ruwatan juga dianggap sebagai sarana untuk pembebasan dan penyucian diri dari segala malapetaka atau kesialan hidup. Dalam banyak kepercayaan masyarakat Jawa, ada anggapan bahwa setiap individu membawa energi positif atau negatif yang bisa memengaruhi jalannya hidup mereka. Ruwatan diharapkan bisa menghilangkan energi negatif ini, serta memberikan kesempatan bagi individu untuk memulai hidup baru dengan keberkahan dan ketenangan.
Bagi banyak orang yang telah menjalani prosesi Ruwatan, diyakini bahwa mereka akan terbebas dari berbagai kesialan dalam hidup mereka. Upacara ini memberikan rasa harapan dan kepercayaan bahwa setelah dilakukan, kehidupan mereka akan menjadi lebih baik. Bahkan, meskipun zaman telah berkembang dan dunia semakin modern, tradisi Ruwatan masih tetap dijalankan oleh sebagian besar masyarakat Jawa sebagai bentuk penghormatan terhadap nilai-nilai spiritual dan budaya yang telah diwariskan oleh nenek moyang mereka.
Dengan tujuan yang begitu mendalam, Ruwatan bukan hanya sekadar ritual untuk mengusir gangguan atau bencana, tetapi juga merupakan usaha untuk menjaga keseimbangan hidup dan mencapai kebahagiaan sejati. Sebagai tradisi yang penuh dengan makna spiritual, Ruwatan tetap hidup dalam masyarakat modern, memperkuat ikatan antara individu dengan alam semesta, leluhur, dan kekuatan tak kasat mata yang diyakini mempengaruhi kehidupan mereka.
Prosesi Ruwatan: Tahapan Ruwat Jolotundo yang Kaya Makna
Prosesi Ruwatan, khususnya dalam tradisi Ruwat Jolotundo yang diselenggarakan di Candi Jolotundo, Mojokerto, terdiri dari tiga tahapan utama: persiapan, pelaksanaan, dan penutup. Setiap tahapan ini memiliki makna dan tujuan tertentu yang berkaitan dengan penyucian diri, pengusiran energi negatif, serta upaya untuk memperoleh berkah dan keselamatan. Dikutip dari buku Potensi Geohistoris Gunung Penanggungan yang disusun oleh Nuansa Bayu Segara (2019), berikut penjelasan lengkap mengenai prosesi Ruwat Jolotundo:
1. Persiapan
Tahapan pertama dalam prosesi Ruwatan adalah persiapan yang melibatkan pembentukan kepanitiaan khusus. Kepanitiaan ini memiliki tugas yang sangat penting untuk memastikan kelancaran acara. Panitia akan mengatur berbagai hal yang diperlukan dalam rangkaian acara, mulai dari penentuan tanggal yang dianggap baik (berdasarkan perhitungan astrologi Jawa), hingga persiapan perlengkapan acara dan sajen.
Sajen yang digunakan dalam upacara ini harus dipersiapkan dengan cermat, karena dipercaya memiliki fungsi sebagai media komunikasi antara manusia dengan dunia gaib. Selain itu, panitia juga akan mengatur daftar donatur yang akan turut mendukung acara, serta menyusun konsep acara yang mencakup urutan prosesi dari awal hingga akhir. Semua persiapan ini dilakukan dengan penuh kehati-hatian, mengingat besarnya makna dan harapan yang digantungkan pada acara tersebut.
2. Pelaksanaan
Pada tahapan pelaksanaan, acara Ruwatan akan dimulai dengan berbagai prosesi ritual yang sarat dengan nilai-nilai budaya dan spiritual. Salah satu yang khas adalah penampilan kesenian tradisional seperti jaranan, bantengan, ujung, dan wayangan. Setiap pertunjukan kesenian ini tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga sebagai sarana untuk mengusir roh jahat dan mengembalikan keseimbangan energi dalam kehidupan.
Selain itu, ada juga prosesi sumaninggah, yaitu suatu upacara pemohonan izin kepada Tuhan Yang Maha Esa dan leluhur. Ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan dan permohonan agar acara Ruwatan berjalan lancar dan membawa berkah bagi semua yang terlibat.
Setelah prosesi kesenian dan sumaninggah, acara dilanjutkan dengan kirab agung di Petirtaan Candi Jolotundo. Kirab ini melibatkan seluruh peserta yang membawa sajen dan perlengkapan ritual menuju sumber air suci di candi tersebut, yang dipercaya memiliki kekuatan spiritual.
Tidak hanya itu, simbolis alam juga sangat ditekankan dalam prosesi ini dengan dilakukan pelepasan burung dan penanaman pohon. Pelepasan burung melambangkan kebebasan dan harapan agar energi negatif dapat pergi, sementara penanaman pohon menjadi simbol dari pelestarian alam dan kelangsungan hidup yang harmonis dengan lingkungan sekitar.
3. Penutup
Setelah serangkaian prosesi tersebut, acara Ruwatan diakhiri dengan penutupan yang berupa pembacaan doa dan selamatan. Doa ini dibacakan sebagai bentuk ungkapan rasa terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia yang diberikan, sekaligus permohonan agar Tuhan melimpahkan berkah-Nya kepada seluruh umat yang hadir. Pembacaan doa ini juga menjadi momen penting untuk memohon agar segala bentuk kesulitan, penyakit, dan malapetaka dapat dijauhkan, serta kehidupan yang penuh kedamaian dan keberkahan dapat tercipta.
Seluruh rangkaian prosesi Ruwatan ini, dengan segala simbolisme dan ritualnya, memiliki makna yang sangat mendalam dalam tradisi Jawa. Ruwat Jolotundo tidak hanya berfungsi sebagai upacara penyucian diri, tetapi juga sebagai sarana untuk menyelaraskan hubungan manusia dengan Tuhan, leluhur, dan alam. Dengan demikian, prosesi ini bukan hanya sekadar ritual, tetapi juga merupakan bentuk penghormatan terhadap kearifan lokal dan kebudayaan yang telah diwariskan turun-temurun.
Kesimpulan
Mengenal Tradisi Ruwatan mengajarkan kita untuk menghargai dan merawat warisan budaya yang telah ada sejak lama dalam masyarakat Jawa. Selain sebagai sarana spiritual untuk mengusir energi negatif dan mendatangkan keselamatan, tradisi ini juga menyimpan nilai-nilai kearifan lokal yang sangat relevan dalam kehidupan sehari-hari. Ruwatan tidak hanya bertujuan untuk menjaga keseimbangan antara manusia, alam, dan kekuatan gaib, tetapi juga sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas hidup melalui doa dan harapan agar mendapatkan berkah serta keselamatan.
Melalui prosesi yang penuh makna dan simbolisme, Ruwatan mengingatkan kita akan pentingnya hubungan spiritual yang harmonis, baik dengan Tuhan Yang Maha Esa, leluhur, maupun sesama. Meskipun zaman terus berkembang, tradisi ini tetap hidup dalam masyarakat sebagai bagian dari upaya untuk menjaga kesejahteraan fisik dan mental. Dengan demikian, tradisi Ruwatan menjadi warisan budaya yang tidak hanya perlu dilestarikan, tetapi juga dipahami dengan penuh rasa hormat dan kesadaran akan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Sebagai bagian dari identitas budaya Jawa, Ruwatan mengajak kita untuk terus menjaga keseimbangan dalam hidup, menghargai alam, dan berdoa untuk kebaikan bersama. Dengan demikian, tradisi ini tetap relevan dan memberikan kedamaian bagi siapa saja yang mengikutinya.