Slingadigital.com – Asal Usul Londo Ireng (Serdadu Hitam di Hindia Belanda). Asal Usul Londo Ireng merupakan tema yang menarik untuk dibahas, terutama bagi mereka yang ingin memahami lebih dalam tentang warisan budaya dan sejarah masyarakat Indonesia. Londo Ireng, yang dalam bahasa Jawa berarti ‘Orang Hitam’, memiliki makna yang kaya dan kompleks, sering kali dihubungkan dengan berbagai cerita, mitos, dan tradisi yang mencerminkan interaksi antara budaya lokal dan pengaruh luar.
Dalam artikel ini, kita akan menelusuri jejak historis Londo Ireng, menggali asal-usulnya, serta memahami peran dan signifikan karakter ini dalam konteks sosial dan budaya Indonesia. Mari kita eksplorasi bersama bagaimana Asal Usul Londo Ireng memberikan wawasan baru tentang identitas dan kekayaan budaya bangsa.
Asal Usul Londo Ireng
Perekrutan awal dimulai pada tahun 1831 di Kota Elmina dan berlanjut hingga 1836. Pada periode ini, Belanda aktif merekrut serdadu dari Afrika sebagai bagian dari strategi untuk memperkuat posisi militernya di Hindia Belanda. Satuan-satuan Afrika pertama yang terbentuk kemudian dikirim ke berbagai daerah, termasuk Lampung dan Jambi, serta terlibat dalam Perang Padri di pesisir barat tanah Minang.
Keterlibatan mereka dalam konflik ini menunjukkan peran penting yang dimainkan oleh serdadu Afrika dalam mempertahankan kepentingan kolonial Belanda. Satuan serdadu Afrika memiliki posisi istimewa di lingkungan militer kolonial Hindia Belanda dan status mereka disamakan dengan serdadu Eropa, sesuai dengan perjanjian yang dibuat dengan Kerajaan Ashanti. Hal ini memberikan mereka gaji yang lebih tinggi dibandingkan tentara pribumi serta fasilitas yang setara dengan prajurit Eropa. Oleh karena itu, mereka mendapat julukan “Belanda Hitam,” mencerminkan status dan keunikan posisi mereka dalam struktur militer kolonial.
Satu aspek yang membedakan tentara Afrika dari sekondan Eropanya adalah masa kerja yang mereka jalani. Kontrak kerja rekrutan Afrika dari kalangan orang merdeka diperpanjang menjadi 15 tahun sejak 1837, sementara para budak yang direkrut dari luar wilayah Kerajaan Ashanti tidak memiliki batasan waktu. Pada tahun 1844, peraturan ini mengalami perubahan lagi, dan semua serdadu Afrika diwajibkan untuk terikat dalam kontrak selama 15 tahun.
Seiring dengan laporan positif dari para perwira Belanda mengenai kinerja serdadu Afrika, perekrutan besar-besaran dilakukan hingga tahun 1841. Beberapa serdadu Afrika yang telah menyelesaikan masa kerja mereka memilih untuk tetap tinggal di Jawa dan membangun komunitas di sana, memperkuat keberadaan mereka di tengah masyarakat kolonial.
Belanda memiliki sejarah panjang dengan prajurit Afrika yang dipekerjakan untuk melindungi kepentingan kolonialnya di Indonesia. Mereka dipekerjakan sebagai tentara, pengawal, dan buruh di bawah sistem kontrak yang dikenal sebagai Cipayung. Banyak prajurit Afrika ditarik ke Indonesia pada abad ke-19 untuk membantu Belanda mengendalikan pemberontakan yang terjadi di wilayah kolonial.
Meskipun banyak di antara mereka adalah mantan budak, perlakuan yang diterima prajurit Afrika di Indonesia jauh lebih baik dibandingkan dengan yang mereka alami di Pantai Gading, tempat asal mereka. Di Pantai Gading, mereka dianggap sebagai mantan budak, sementara di Indonesia, status mereka disamakan dengan prajurit Eropa. Ini menciptakan perbedaan signifikan dalam pengalaman hidup mereka, meskipun tantangan dan kesulitan tetap ada.
Namun, banyak prajurit Afrika tidak memiliki pilihan, karena mereka meninggal selama masa dinas militer yang panjang. Hanya sedikit di antara mereka yang benar-benar tewas di medan perang, sementara mayoritas meninggal akibat penyakit yang mengintai di lingkungan tropis. Menurut tulisan Van Kessel, seorang sejarawan Belanda, Belanda harus mematuhi “janji perlakuan setara” kepada prajurit Afrika untuk menghindari risiko pemberontakan. Ini menunjukkan betapa rumitnya hubungan antara kekuatan kolonial dan serdadu Afrika, di mana janji dan perlakuan yang adil menjadi kunci untuk menjaga stabilitas di tengah tantangan yang ada.
Dengan demikian, asal usul Londo Ireng tidak hanya mencerminkan perjalanan individu dan komunitas Afrika di tanah kolonial, tetapi juga menggambarkan dinamika kekuasaan, identitas, dan perjuangan yang kompleks dalam konteks sejarah Indonesia. Pengetahuan tentang mereka memberikan wawasan penting mengenai peran serdadu Afrika dalam sejarah kolonial dan bagaimana mereka membentuk narasi identitas yang berlanjut hingga saat ini.
Kisah Londo Ireng Bertempur Di Perang Padri
Salah satu kisah menonjol tentang kiprah tentara Belanda hitam di tanah air adalah ketika mereka dikirim untuk menumpas perlawanan Imam Bonjol. Pada masa itu, Perang Padri menjadi salah satu konflik yang paling signifikan dalam sejarah Indonesia, melibatkan pertarungan antara kaum Padri yang dipimpin oleh Imam Bonjol dan pasukan kolonial Belanda yang berusaha mempertahankan kekuasaan mereka.
Pada dini hari 3 Desember 1836, pasukan Belanda menyerang basis kaum Padri di Kampung Bonjol. Serangan yang direncanakan dengan matang ini melibatkan berbagai pasukan, termasuk tentara Bugis dan tentara Afrika yang dijuluki oleh orang Minangkabau sebagai ‘Neger’. Kehadiran pasukan Afrika dalam serangan ini bukan hanya memperkuat jumlah prajurit Belanda, tetapi juga menunjukkan strategi kolonial yang memanfaatkan berbagai etnis untuk mencapai tujuan militer mereka.
Dalam penyerangan ini, dua serdadu Neger berhasil menembus masuk ke kediaman Tuanku Imam Bonjol. Aksi ini menunjukkan betapa beraninya mereka menghadapi risiko dalam pertempuran. Namun, hal ini juga mengungkap sisi kelam dari konflik tersebut, di mana dua serdadu Afrika yang bersemangat beraksi di luar kendali dan melukai anggota keluarga Imam Bonjol. Serdadu Afrika yang gelap mata melukai salah satu istri Imam Bonjol, sedangkan Mahmud, anak bungsunya, bahkan tewas ditikam saat hendak menolong ibunya. Peristiwa ini menambah kedalaman emosi dalam narasi sejarah, mengingat kerugian yang dialami oleh keluarga Imam Bonjol.
“Seorang Neger dengan kelewangnya menikam seorang istri Tuanku Imam, yang menyebabkan matinya. Seorang perempuan lagi luka pula dadanya ditusuk dengan bayonet,” tulis Muhamad Radjab dalam buku klasik Perang Padri di Sumatra Barat 1803-1838 (2019, hlm. 354). Kutipan ini tidak hanya mencerminkan kekejaman pertempuran, tetapi juga bagaimana tindakan individu dalam situasi perang dapat memengaruhi banyak kehidupan.
Setelah serangan brutal tersebut, Imam Bonjol bersama anaknya Umar Ali melancarkan serangan balik. Dalam upaya untuk merebut kembali kendali dan membalas dendam atas kerugian yang mereka alami, Imam Bonjol dan pasukannya melakukan serangan. Namun, dalam pertempuran ini, Imam Bonjol dan Umar Ali terluka. Beberapa tusukan bayonet melukai Imam Bonjol, mengurangi daya tempurnya dan menciptakan momen krisis dalam perjuangan mereka.
“Karena sangat lelah dan sakit sesudah mendapat luka tiga belas lubang, yang darahnya terus-menerus mengalir, sakitnya makin lama bertambah tak tertahankan, Tuanku Imam terjatuh lagi, dan dipapah oleh pengikut-pengikutnya pulang ke rumah,” tulis Muhamad Radjab. Deskripsi ini menggambarkan betapa sengit dan tragisnya pertempuran tersebut, menyoroti keberanian dan dedikasi Imam Bonjol dalam mempertahankan keyakinan dan tanah airnya meskipun dalam keadaan yang sangat sulit.
Akhirnya, Belanda mengakui bahwa para serdadu Afrika bertindak berlebihan dan tak patuh perintah. Ini menyoroti ketidakstabilan yang ada dalam pasukan kolonial, di mana komando dan disiplin sering kali dilanggar di tengah pertempuran. Meskipun pasukan Belanda pada akhirnya memenangkan Perang Padri, hasilnya tidak terlepas dari konsekuensi besar bagi masyarakat lokal dan identitas mereka.
Perang Padri pada akhirnya dimenangkan oleh Belanda, dan Imam Bonjol diasingkan ke Ambon. Pengasingan ini bukan hanya merupakan hukuman bagi Imam Bonjol, tetapi juga merupakan simbol dari perjuangan yang tidak terputus oleh penjajahan. Kisah Londo Ireng dalam pertempuran ini menggambarkan betapa kompleksnya hubungan antara prajurit Afrika dan kekuatan kolonial, serta dampak dari konflik ini terhadap masyarakat Minangkabau dan sejarah Indonesia secara keseluruhan. Melalui kisah ini, kita dapat melihat bahwa di balik setiap pertempuran, terdapat kisah kemanusiaan yang mendalam dan pelajaran berharga tentang perjuangan untuk kebebasan dan keadilan.
PEMBERONTAKAN SERDADU AFRIKA PADA BELANDA
Belanda pernah menghadapi sejumlah protes dari prajurit Afrika di Indonesia, salah satunya terjadi pada tahun 1938. Protes ini berawal dari perintah untuk mengganti kasur jerami standar Eropa dengan tikar biasa, yang kemudian berkembang menjadi ketidakpuasan terkait pengurangan gaji.
Pemberontakan serupa juga terjadi pada tahun 1840 dan 1884 di Sumatra dan Jawa. Pada bulan Juni 1841, 37 tentara Afrika bersenjata lengkap dari Batalyon Infanteri 10 melarikan diri dari benteng Belanda Van der Capellen di pantai barat Sumatra setelah berkali-kali menolak perintah komando. Detasemen yang dikirim untuk mengejar mereka tidak berhasil membujuk kelompok Afrika itu untuk kembali. Dalam insiden tersebut, terjadi perkelahian yang mengakibatkan dua prajurit Afrika tewas dan empat lainnya terluka parah, sementara yang tersisa ditangkap. Pemberontakan ini dipicu oleh penggantian kasur jerami dengan tikar biasa.
Meskipun prajurit Afrika telah menunjukkan keberanian dan keterampilan luar biasa di medan perang, mereka sering menghadapi diskriminasi rasial. Mereka dianggap sebagai tentara pilihan yang tidak pernah terlibat dalam pencurian. Dengan fisik yang kuat, kemampuan beradaptasi yang tinggi, dan keterampilan bertempur yang di atas rata-rata, satuan tentara Afrika dari Batalyon Infanteri 7 bahkan dianugerahi penghargaan tertinggi dalam ketentaraan Belanda, Militaire Willemsorde, pada tahun 1849, sebagai pengakuan atas kontribusi mereka dalam ekspedisi KNIL ke Bali. Beberapa perwira KNIL bahkan mengakui bahwa tentara Afrika memiliki kualitas lebih baik dibandingkan dengan prajurit Eropa.
Namun, tentara Afrika tidak luput dari prasangka rasial yang datang dari orang Eropa dan masyarakat bumiputra. Beberapa prasangka muncul akibat pandangan orang Afrika terhadap diri mereka sendiri. Mereka yang dianggap memiliki status setara dengan orang Belanda cenderung bersikap arogan dan meremehkan masyarakat bumiputra, serta sengaja menjaga jarak dari tetangga mereka, yang menimbulkan ketidakpercayaan.
Di mata masyarakat bumiputra, serdadu Afrika dipandang sebagai sosok yang pemarah dan kurang sopan, sementara orang Belanda menganggap mereka sulit diatur dan kurang beradab. Jenderal Cochius, salah satu panglima tertinggi KNIL, bahkan menyatakan bahwa janji perlakuan setara terhadap mereka adalah kesalahan besar.
Perekrutan terakhir tentara Afrika berlangsung antara tahun 1860 hingga 1872, dengan sekitar 3.000 prajurit Afrika telah bertugas di KNIL selama periode 1832 hingga 1872. Namun, tidak ada lagi tentara Afrika asli yang berdinas di KNIL pada tahun 1915.
Meskipun demikian, komunitas Indo-Afrika terbentuk di kota-kota tempat garnisun KNIL berada, seperti Semarang, Purworejo, Salatiga, dan Surakarta. Komunitas ini memiliki status yang setara dengan penduduk Eropa dan bahkan berasimilasi dengan populasi Indo-Eropa. Banyak dari mereka menjadi pemeluk Katolik, menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa ibu, dan anak-anak mereka bersekolah di sekolah Belanda.
Pada akhir pemerintahan kolonial pada tahun 1949, keturunan Indo-Afrika masih menjadi bagian dari KNIL. Namun, setelah kemerdekaan Indonesia, sebagian besar dari mereka pindah ke Belanda seiring dengan eksodus besar-besaran orang Belanda dan Indo-Eropa.
Label “Belanda Hitam” yang dulunya menunjukkan status istimewa dalam masyarakat kolonial kini berubah menjadi istilah pelecehan, karena para nasionalis Indonesia memandang Indo-Afrika sebagai kolaborator kolonialis Belanda. Sejarah prajurit Afrika di Indonesia adalah narasi yang sering terlupakan dalam sejarah kolonial. Kehidupan dan pengalaman mereka memberikan wawasan unik mengenai kompleksitas kekuasaan kolonial dan bagaimana orang kulit hitam diperlakukan oleh kekuatan kolonial di seluruh dunia.
Penutup
Sebagai penutup, asal usul Londo Ireng atau Serdadu Hitam di Hindia Belanda tidak hanya mencerminkan aspek sejarah militer, tetapi juga menggambarkan interaksi kompleks antara budaya, politik, dan ekonomi pada masa kolonial. Serdadu Hitam, dengan latar belakang mereka sebagai prajurit yang direkrut dari berbagai daerah, memainkan peran penting dalam mempertahankan kekuasaan Belanda di wilayah tersebut.
Namun, warisan mereka juga menimbulkan pertanyaan tentang identitas, perjuangan, dan dampak jangka panjang terhadap masyarakat lokal. Dengan memahami lebih dalam tentang asal usul Londo Ireng, kita dapat menghargai perjalanan sejarah yang membentuk Indonesia dan menjalin ikatan antarbudaya yang masih relevan hingga kini. Sebuah pengingat bahwa sejarah bukan hanya tentang masa lalu, tetapi juga tentang bagaimana kita menginterpretasikan dan memahami pengaruhnya terhadap identitas dan budaya masa kini.