Tombak Menur Pamor Miring

Mengenal Tombak Menur Pamor Miring

Posted on

Slingadigital.com – Mengenal Tombak Menur Pamor Miring. Tombak Menur Pamor Miring adalah salah satu artefak warisan budaya Nusantara yang kaya akan nilai sejarah dan spiritual. Sebagai senjata tradisional, tombak ini tidak hanya dikenal karena kekuatannya, tetapi juga karena keindahan dan keunikannya yang terpancar dari pamor miring yang menghiasi bilahnya. Pamor miring ini, dengan pola alur yang khas, menambah daya tarik visual sekaligus mengandung makna filosofis yang mendalam.

Dalam budaya Jawa, tombak menur pamor miring sering dianggap memiliki kekuatan gaib dan digunakan dalam berbagai upacara adat maupun sebagai simbol kekuasaan dan kewibawaan. Keunikan pamor miring yang terbentuk dari proses penempaan tradisional menjadikan setiap tombak menur sebagai karya seni yang tak ternilai. Melalui artikel ini, kita akan menggali lebih dalam tentang asal-usul, makna, dan keistimewaan tombak menur pamor miring, serta bagaimana senjata ini menjadi bagian integral dari warisan budaya Nusantara.

Mengenal Tombak

Tombak atau lembing adalah senjata yang telah ditemukan di berbagai peradaban di seluruh dunia. Alasan utama popularitas tombak adalah kemudahan dan biaya pembuatannya yang relatif murah. Tombak umumnya digunakan untuk berburu dan berperang, terdiri dari dua bagian utama: tongkat sebagai pegangan dan mata atau kepala tombak yang tajam. Kadang-kadang, kepala tombak diperkeras dengan bahan lain untuk meningkatkan ketajaman dan daya tahannya. Seiring perkembangan peradaban, mata tombak yang awalnya terbuat dari tulang atau batu dihaluskan dan kemudian digantikan dengan logam yang lebih kuat dan tahan lama.

Di Indonesia, tombak menjadi senjata utama yang banyak digunakan oleh tentara tradisional Nusantara. Salah satu alasan utamanya adalah kelangkaan besi dan logam lainnya, yang membuat pembuatan pedang menjadi sulit dan mahal. Oleh karena itu, senjata yang lebih umum digunakan adalah yang membutuhkan lebih sedikit besi dibandingkan pedang, seperti kapak, parang, golok, dan tombak. Di antara senjata-senjata tersebut, tombak menonjol sebagai satu-satunya yang digunakan khusus sebagai senjata perang dan berburu.

Baca Juga:  Khasiat Bismillah 20 dan Bacaannya Secara Lengkap

Selain tombak tradisional dengan mata logam, ada juga jenis tombak tanpa mata yang sering digunakan oleh milisi di Nusantara, yaitu bambu runcing. Bambu runcing dibuat dari bambu yang diruncingkan tanpa perkuatan apapun di ujungnya. Meskipun sederhana, bambu runcing merupakan senjata penusuk yang mematikan, terutama dalam menghadapi tentara tradisional Nusantara dan tentara kolonial yang tidak dilengkapi dengan perlindungan baju zirah.

Tombak tidak hanya berfungsi sebagai alat perang, tetapi juga memiliki nilai simbolis dan ritual dalam berbagai budaya. Di banyak masyarakat tradisional, tombak sering digunakan dalam upacara adat dan dianggap sebagai lambang kekuasaan dan keberanian. Keunikan dan keanekaragaman tombak di Indonesia mencerminkan kekayaan budaya dan sejarah Nusantara yang beragam.

Tombak Menur Pamor Miring

Tombak Menur Pamor Miring adalah salah satu jenis tombak yang memiliki makna dan sejarah yang kaya dalam tradisi tosan aji di Indonesia. Berikut adalah penjelasan yang lebih mendalam mengenai tombak ini berdasarkan berbagai sumber dan pemahaman masyarakat pecinta tosan aji.

Menurut buku Narpawandawa yang diterbitkan oleh Budi Utama pada tahun 1929, istilah “menur” mengacu pada hiasan berbentuk chattra yang biasanya terletak di pucuk payung songsong. Hiasan ini terbuat dari kayu dan dibuat dengan teknik sambungan kayu yang disebut purus, sehingga menyatu dengan tongkat (dhandhan) payung tersebut.

Dalam pemahaman masyarakat pecinta tosan aji, “menur” juga merujuk pada tombak kecil yang digunakan sebagai bagian dari mahkota payung songsong. Ini didasarkan pada catatan keraton yang menyebutkan adanya tombak di dalam payung songsong, meskipun hanya satu dari sembilan puluh jenis payung yang disebut memiliki tombak di dalamnya, yaitu Songsong Agêm Dalêm.

Tombak Menur Pamor Miring adalah salah satu varian dari tombak menur yang memiliki pamor atau pola yang miring pada bilahnya. Pamor ini tidak hanya menambah estetika pada tombak, tetapi juga dipercaya memiliki makna filosofis dan spiritual. Pamor miring sering kali dianggap membawa keberuntungan dan perlindungan bagi pemiliknya.

Baca Juga:  Cara Merawat Batu Akik Agar Cepat Tua : Lengkap

Penggunaan tombak dalam budaya Jawa, khususnya dalam konteks keraton, memiliki makna simbolis yang mendalam. Tombak sering kali dikaitkan dengan kekuatan, perlindungan, dan status sosial. Tombak menur yang terdapat pada payung songsong agêm dalêm mencerminkan simbol kekuasaan dan kehormatan yang tinggi dalam lingkungan keraton.

Tombak Menur Pamor Miring adalah artefak budaya yang kaya akan sejarah dan makna simbolis. Penggunaan dan bentuknya yang unik mencerminkan keahlian dan kearifan lokal dalam membuat senjata yang tidak hanya berfungsi sebagai alat pertahanan, tetapi juga sebagai simbol status dan spiritualitas.

Dengan demikian, memahami tombak menur, terutama yang memiliki pamor miring, memberikan kita wawasan yang lebih dalam tentang nilai-nilai budaya dan tradisi masyarakat Jawa.

SEJARAH & FILOSOFI

Dalam tradisi India dan tradisi Buddhis, chattra, yang berarti payung, parasol, atau kanopi, diasosiasikan sebagai objek persembahan duniawi, pelindung semua makhluk, dan simbol kekuasaan. Hal ini tercermin dalam ukiran panel relief Karmawibhangga Borobudur (Relief 127-130): chattrapradana.

Jika kita melihat potret keluarga atau tokoh pada masa kerajaan lampau, ada satu benda yang selalu hadir, yaitu payung atau songsong. Songsong adalah sebutan untuk payung dalam budaya Jawa, dan merupakan bentuk halus atau kromo inggil dari kata payung. Benda ini memiliki akar sejarah yang panjang di Nusantara, khususnya di tanah Jawa.

Dalam prasasti dan susastra Masa Hindu-Buddha, istilah dalam Bahasa Jawa Kuna dan Jawa Tengahan untuk payung adalah ‘pajeng’. Dalam bahasa Jawa Baru dan bahasa Indonesia, istilah ini berubah menjadi ‘payung’. Kata ‘apajeng’ berarti berpayung, dan ‘pinajengan’ berarti melindungi dengan payung. Istilah ini dapat ditemukan dalam karya sastra seperti Kakawin Bharattayuddha, Harisraya B, Hariwangsa, Krensnataka, Kidung Ranggalawe, dan Kidung Harsyawijaya. Dalam prasasti yang berisi ‘penetapan status sima (perdikan)’, terdapat informasi bahwa jenis payung tertentu yang dinamai ‘pajeng wlu (payung bulat)’ hanya boleh digunakan oleh kalangan bangsawan atau orang yang memperoleh hak-hak istimewa. Payung khusus lainnya adalah payung berwarna keemasan, yang dalam Kakawin Bharattayuddha dinamai ‘pajeng mas’.

Berbagai relief di candi-candi (Panataran, Borobudur, dll) juga menunjukkan visual “wong agung dengan songsongnya“. Ini menunjukkan bahwa payung songsong telah dikenal dan digunakan sejak masa Hindu-Buddha. Tradisi memayungi bangsawan berlanjut hingga masa Perkembangan Islam.

Baca Juga:  Laku Tirakat Aji Pangontong-Ontong dan Mantranya

Songsong ini menempati posisi krusial sejak masa Hindu-Buddha hingga Mataram Islam. Benda ini merupakan simbol prestis dan penanda keluhuran dari kalangan bangsawan atau golongan kepangkatan. Songsong juga diperlakukan sebagai benda pusaka. Biasanya ada seorang abdi dalem yang ditugaskan khusus untuk membawa payung bagi ndoro-nya, yang disebut Juru Panongsong atau di Keraton Solo disebut Abdi Dalem Priyantaka. Tugasnya adalah membawa songsong atau payung kebesaran raja dalam upacara-upacara resmi.

Seorang raja yang keluar istana (blusukan) selalu menggunakan songsong. Selain untuk melindungi dari sinar matahari dan hujan, yang utama adalah melindungi agar bayangan tubuh sang Raja tidak muncul atau terlihat, terutama pada bagian kepala. Menginjak bayangan Raja merupakan bentuk “penodaan” karena Raja dianggap sebagai wakil Tuhan di Bumi.

Payung selain sebagai simbol perlindungan dan pengayoman juga keteduhan. Tidak mengherankan jika di Jawa, saat orang meninggal dan hendak dimakamkan, sebuah payung juga menyertai perjalanannya, dengan harapan agar orang yang meninggal tersebut bisa mendapatkan keteduhan dalam perjalanannya di alam lain.

Penutup

Tombak Menur Pamor Miring bukan hanya sekadar senjata tradisional, tetapi juga merupakan simbol kebijaksanaan dan kekuatan yang diwariskan dari generasi ke generasi. Keunikan pamor miring pada tombak ini menambah nilai estetika sekaligus khasiat mistis yang diyakini oleh para pemiliknya.

Menghormati dan melestarikan warisan budaya seperti Tombak Menur Pamor Miring adalah wujud apresiasi terhadap sejarah dan kearifan lokal yang kaya akan makna. Melalui pemahaman dan penghargaan terhadap senjata tradisional ini, kita dapat terus menjaga dan menghargai nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya, sekaligus meneruskan tradisi yang berharga ini kepada generasi mendatang.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *