Kalender Kerejekian Kepada Mitologi Jawa

Kalender Kerejekian Kepada Mitologi Jawa

Posted on

Slingadigital.com – Kalender Kerejekian Kepada Mitologi Jawa. Dalam kekayaan budaya Jawa, kalender kerejekian memegang peranan penting sebagai panduan bagi masyarakat dalam menentukan hari baik dan buruk untuk berbagai kegiatan. Kalender ini bukan sekadar alat untuk mencatat waktu, tetapi juga sarat dengan muatan filosofis dan mitologis yang menghubungkan manusia dengan alam semesta. Berdasarkan mitologi Jawa, kalender kerejekian dipercaya mampu mempengaruhi nasib dan rejeki seseorang, menjadikannya sebuah sistem yang dihormati dan dipelajari dengan saksama.

Kalender kerejekian mengintegrasikan pengetahuan astrologi, numerologi, dan kepercayaan spiritual yang diwariskan dari generasi ke generasi. Dalam mitologi Jawa, setiap hari memiliki karakteristik unik yang dipengaruhi oleh posisi bintang, unsur alam, dan energi kosmik. Melalui pemahaman mendalam tentang kalender ini, masyarakat Jawa dapat mengatur kehidupan mereka dengan lebih harmonis, selaras dengan siklus alam dan semesta.

Artikel ini akan mengupas lebih dalam tentang Kalender Kerejekian Kepada Mitologi Jawa, mengeksplorasi asal-usulnya dalam mitologi Jawa, serta bagaimana praktik ini masih relevan dan digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan memahami kalender kerejekian, kita tidak hanya mengenal lebih dekat warisan budaya Jawa, tetapi juga menggali kebijaksanaan leluhur yang tersirat di dalamnya.

Kalender Jawa Adalah?

Kalender Jawa atau Penanggalan Jawa (Hanacaraka: ꦥꦤꦁꦒꦭ꧀ꦭꦤ꧀ꦗꦮ; Pegon: ڤناڠڬالان جاوا; translit. Pananggalan Jawa) adalah sistem penanggalan yang digunakan oleh Kesultanan Mataram dan berbagai kerajaan pecahannya serta daerah yang mendapat pengaruhnya. Penanggalan ini memadukan sistem penanggalan Islam, sistem penanggalan Hindu, dan sedikit penanggalan Julian yang merupakan bagian budaya Barat.

Sistem kalender Jawa memakai dua siklus hari: siklus mingguan yang terdiri dari tujuh hari (Ahad sampai Sabtu, saptawara) dan siklus pekan pancawara yang terdiri dari lima hari pasaran (Legi, Pahing, Pon, Wage, Kliwon). Pada tahun 1633 Masehi (1555 Saka), Sultan Agung dari Mataram berusaha keras menanamkan agama Islam di Jawa. Salah satu upayanya adalah mengeluarkan dekret yang mengganti penanggalan Saka yang berbasis perputaran matahari dengan sistem kalender kamariah atau lunar (berbasis perputaran bulan). Uniknya, angka tahun Saka tetap dipakai dan diteruskan, tidak menggunakan perhitungan dari tahun Hijriyah (saat itu 1043 H). Hal ini dilakukan demi asas kesinambungan, sehingga tahun saat itu yang adalah tahun 1555 Saka diteruskan menjadi tahun 1555 Jawa.

Dekrit Sultan Agung berlaku di seluruh wilayah Kesultanan Mataram: seluruh pulau Jawa dan Madura kecuali Banten, Batavia (Jakarta sekarang), dan Banyuwangi (Balambangan). Ketiga daerah terakhir ini tidak termasuk wilayah kekuasaan Sultan Agung. Pulau Bali dan Sumatra yang tidak mendapatkan pengaruh budaya Jawa, juga tidak ikut mengambil alih kalender karangan Sultan Agung ini.

Baca Juga:  Mengenal Keris Pusaka Tundung Musuh

Kalender Jawa mencerminkan perpaduan budaya yang kaya dan beragam di Nusantara, dengan elemen-elemen yang diambil dari berbagai tradisi yang berbeda. Dengan memadukan siklus hari dari sistem Hindu dan Islam, serta mempertahankan beberapa aspek dari penanggalan Julian, kalender ini menunjukkan fleksibilitas dan adaptabilitas budaya Jawa. Penanggalan ini tidak hanya berfungsi sebagai alat pencatat waktu, tetapi juga menjadi bagian integral dari praktik keagamaan, pertanian, dan kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa.

Siklus pancawara yang terdiri dari lima hari pasaran (Legi, Pahing, Pon, Wage, Kliwon) digunakan untuk menentukan hari-hari baik untuk kegiatan tertentu, seperti pasar, pernikahan, dan upacara adat. Kombinasi antara siklus mingguan saptawara dan pancawara menciptakan sebuah kalender yang unik dan kompleks, yang memberikan panduan harian bagi masyarakat Jawa.

Perubahan dari penanggalan Saka ke penanggalan Jawa oleh Sultan Agung juga menunjukkan usaha untuk menyesuaikan dan menyelaraskan tradisi lokal dengan pengaruh Islam yang semakin kuat pada waktu itu. Langkah ini memperlihatkan kemampuan pemimpin Jawa untuk mengintegrasikan berbagai elemen budaya dan agama, menciptakan sebuah identitas baru yang tetap menghormati akar tradisionalnya.

Dengan demikian, Kalender Jawa merupakan simbol dari kekayaan budaya dan sejarah Jawa yang terus hidup dan berkembang hingga saat ini. Penanggalan ini tidak hanya mencatat perjalanan waktu, tetapi juga mencerminkan perjalanan spiritual dan kultural masyarakat Jawa, yang terus beradaptasi dengan perubahan zaman tanpa kehilangan jati dirinya.

A. Tahun

Terdapat delapan nama tahun dalam Kalender Jawa. Sebagai contoh, tahun internasional 1999 sama dengan tahun Jawa Ehe 1932, yang dimulai sejak bulan Sura, bulan pertama. Nama-nama tahun tersebut beserta artinya adalah sebagai berikut:

  1. Purwana Alip: artinya timbul-timbul (mulai berniat)
  2. Karyana Ehe: artinya tumandang (melakukan)
  3. Anama Jemawal: artinya gawe (pekerjaan)
  4. Lalana Je: artinya lelakon (proses, nasib)
  5. Ngawana Dal: artinya urip (hidup)
  6. Pawaka Be: artinya bola-bali (selalu kembali)
  7. Wasana Wawu: artinya marang (ke arah)
  8. Swasana Jimakir: artinya suwung (kosong)

Kedelapan tahun tersebut membentuk kalimat: timbul-timbul tumandang gawe lelakon urip bola-bali marang suwung. Terjemahan bebasnya kurang lebih adalah: mulai melaksanakan aktivitas untuk proses kehidupan dan selalu kembali kepada kosong.

Tahun dalam bahasa Jawa disebut “wiji” (benih). Kedelapan tahun ini menggambarkan proses perkembangan wiji (benih) yang selalu kembali kepada kosong, yaitu siklus lahir-mati, lahir-mati yang terus berputar.

B. Nama-nama Bulan

Satu tahun terdiri dari 12 bulan yang menerangkan Sangkan Paraning Dumadi (asal dan tujuan keberadaan). Berikut adalah 12 proses tersebut:

Baca Juga:  Khodam Rijalul Ghaib - Khodam Ilmu Laduni

  1. Warana Sura: artinya rijal (keberadaan awal)
  2. Wadana Sapar: artinya wiwit (permulaan)
  3. Wijangga Mulud: artinya kanda (bercerita)
  4. Wiyana Bakda Mulud: artinya ambuka (membuka)
  5. Widada Jumadi Awal: artinya wiwara (mengungkap)
  6. Widarpa Jumadi Akhir: artinya rahsa (misteri)
  7. Wilapa Rejep: artinya purwa (awal)
  8. Wahana Ruwah: artinya dumadi (tercipta)
  9. Wanana Pasa: artinya madya (tengah)
  10. Wurana Sawal: artinya wujud (terbentuk)
  11. Wujana Sela: artinya wusana (akhir)
  12. Wujala Besar: artinya suwung (kosong)

Setiap keberadaan kehidupan manusia baru dimulai dengan rijal (sinar kehidupan yang diciptakan oleh kekuatan gaib dari Tuhan). Perputaran hidup manusia adalah dari rijal kembali ke rijal melalui suwung (kosong). Dari bulan pertama sampai bulan kesembilan, manusia baru tersebut berada di kandungan ibu dalam proses pembentukan hingga siap untuk lahir. Bulan kesepuluh menandai kelahirannya sebagai manusia yang hidup di dunia ini. Bulan kesebelas menggambarkan akhir dari keberadaannya di dunia, yaitu wusana yang berarti “setelahnya”. Terakhir, suwung berarti kosong, menandakan kehidupan pergi kembali ke asalnya. Dengan kehendak Tuhan, kehidupan itu kembali lagi sebagai rijal, inilah siklus kehidupan karena kehidupan itu abadi.

Orang tua bijak sering menyampaikan pesan bahwa setiap orang sebaiknya mengetahui inti dari Sangkan Paraning Dumadi atau purwa, madya, wusana. Dengan demikian, orang akan selalu bertingkah laku baik dan benar selama diberi kesempatan untuk hidup di dunia ini.

C. Dino Pitu (Hari Tujuh)

Nama hari dalam Kalender Jawa dihubungkan dengan sistem bulan-bumi. Gerakan (solah) dari bulan terhadap bumi mencerminkan nama dari ketujuh hari tersebut:

  1. Radite (Minggu): melambangkan meneng (diam)
  2. Soma (Senen): melambangkan maju
  3. Hanggara (Selasa): melambangkan mundur
  4. Budha (Rabu): melambangkan mangiwa (beranjak ke arah kiri)
  5. Respati (Kamis): melambangkan manengen (beranjak ke kanan)
  6. Sukra (Jumat): melambangkan munggah (naik ke atas)
  7. Tumpak (Sabtu): melambangkan temurun (beranjak turun)

D. Hari Pasaran Lima

Hari-hari pasaran adalah posisi sikap (patrap) dari bulan:

  1. Kliwon (Asih): melambangkan jumeneng (berdiri)
  2. Legi (Manis): melambangkan mungkur (berbalik arah ke belakang)
  3. Pahing (Pahit): melambangkan madep (menghadap)
  4. Pon (Petak): melambangkan sare (tidur)
  5. Wage (Cemeng): melambangkan lenggah (duduk)

E. Tanggal

Tanggal Pertama: Pada tanggal pertama setiap bulan Jawa, bulan terlihat sangat kecil, seperti garis tipis. Ini dimaknai sebagai bayi yang baru lahir, yang akan semakin besar dan jelas seiring waktu.

  1. Tanggal 14: Pada tanggal 14 bulan Jawa, dikenal sebagai purnama sidhi. Bulan tampak penuh, melambangkan seseorang yang telah dewasa dan menikah.
  2. Tanggal 15: Pada tanggal 15 bulan Jawa, disebut purnama. Bulan masih terlihat penuh, tetapi cahayanya mulai berkurang dan menunjukkan tanda-tanda ukuran yang sedikit menyusut.
  3. Tanggal 20: Pada tanggal 20 bulan Jawa, disebut panglong. Pada waktu ini, seseorang mulai kehilangan daya ingatannya.
  4. Tanggal 25: Pada tanggal 25 bulan Jawa, disebut sumurup. Ini menandakan bahwa seseorang mulai bergantung pada orang lain dalam hidupnya, seperti bayi yang dirawat.
  5. Tanggal 26: Pada tanggal 26 bulan Jawa, disebut manjing. Ini adalah saat di mana kehidupan manusia kembali ke tempat asalnya sebagai rijal (sinar kehidupan).
  6. Sisa Hari: Hari-hari sisa, biasanya empat atau lima hari, menandakan waktu di mana rijal akan mulai dilahirkan kembali ke kehidupan dunia yang baru.
Baca Juga:  Cara Membedakan Batu Akik Pancawarna Asli Dan Palsu

Proses perputaran kehidupan ini dikenal sebagai cakramanggilingan (cakra = roda ber-gigi tajam, manggilingan = selalu berputar). Manusia yang berbudi baik akan mengikuti jalan yang diperkenankan oleh Yang Kuasa, dan mereka akan dituntun untuk memahami Sangkan Paraning Dumadi (proses datang ke dunia, berawal dari keadaan suci, hidup dengan hati dan perilaku suci, dan kembali dalam keadaan suci).

1. Dino Neptu Warna Pasaran

  • Akad (lima): Hijau
  • Senen (4): Biru
  • Selasa (3): Cokelat
  • Rebo (7): Putih
  • Kemis (8): Merah
  • Jemuah (6): Kuning
  • Sebtu (9): Hitam

2. Neptu Warna Pasaran

  • Legi (8): Putih
  • Paing (5): Merah
  • Pon (9): Kuning
  • Wage (7): Hitam
  • Kliwon (4): Ungu

3. Sasi Neptu

  • Sura (7): Alip (1)
  • Sapar (2): Ehe (5)
  • Rabingulawal (3): Jimawal (3)
  • Rabingulakir (5): Je (7)
  • Rejeb (2): Wawu (6)
  • Ruwah (4): Jimakir (3)
  • Pasa (5)
  • Sawal (7)
  • Dulkaidah (1)
  • Besar

Penutup

Dalam menjelajahi berbagai aspek dari Kalender Kerejekian, kita tidak bisa lepas dari hubungan eratnya dengan Mitologi Jawa. Kalender ini bukan hanya sebuah alat untuk melacak waktu, tetapi juga sebuah cermin dari pandangan dunia dan kepercayaan masyarakat Jawa kuno. Melalui berbagai simbol dan perhitungan yang ada, Kalender Kerejekian menghubungkan manusia dengan alam semesta dan kekuatan supranatural yang dipercaya mempengaruhi nasib dan keberuntungan.

Menggali lebih dalam tentang Kalender Kerejekian memungkinkan kita untuk lebih memahami bagaimana masyarakat Jawa kuno memandang hubungan mereka dengan waktu dan keberuntungan, serta bagaimana mereka berusaha untuk harmonis dengan kekuatan yang lebih besar. Dengan mempelajari mitologi yang melatarbelakangi kalender ini, kita dapat menghargai warisan budaya yang telah diwariskan dari generasi ke generasi, serta meneruskan pengetahuan ini agar tetap relevan dalam konteks modern.

Semoga artikel dari slingadigital.com ini memberikan wawasan yang mendalam tentang Kalender Kerejekian Kepada Mitologi Jawa, serta menginspirasi Anda untuk terus mengeksplorasi dan memahami kekayaan budaya yang ada di sekitar kita.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *